KRISIS SANTRI DI KAWASAN PERKOTAAN
Pondok Pesantren sering kali dianggap sebagai penjara suci yang mencetak ulama dan insan yang melestarikan nilai-nilai ajaran Islam. Banyak sekali sosok berpengaruh yang lahir dari rahim pesantren, tempat yang menjadi pusat studi Islam paling dasar. Regenerasi calon cendekiawan muslim terus dipertahankan dan dilanjutkan demi menjaga keutuhan pendidikan Islam.
Pemahaman tentang ajaran Islam ini sangat dibutuhkan, selain untuk menyampaikan ajaran, juga untuk meluruskan paham – paham yang bengkok. Hari ini pesantren di Indonesia sudah banyak tersebar luas, artinya para ulama, cendekiawan, dan intelektual Islam sangat sadar bahwa pemahaman soal Islam mesti dipahami oleh umat muslim di Indonesia.
Justru yang sangat miris dengan banyaknya pesantren ialah minimnya minat pelajar yang ingin memasuki pendidikan pesantren modern terutama di daerah perkotaan. Krisis kuantitas dan kualitas ini sangat mengkhawatirkan terhadap kejumudan regenerasi para ulama dan rekam jejak intelektualisme Islam.
Di satu sisi kuantitas dibutuhkan untuk melanjutkan estafet santri dan pendidikan Islam tradisional secara mendalam di Indonesia. Disisi lain kualitas juga sangat berpengaruh dalam mencetak intelektual Islam dan meneruskan syi’ar Islam yang telah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu.
Salah satu indikasi lemah dan kurangnya minat santri pesantren modern di perkotaan adalah karena perkotaan memang menjadi titik sentral masuknya budaya luar atau tren-tren yang bersifat keduniawian. Tren itu lalu memengaruhi orientasi pendidikan dikalangan pelajar. Kemudian dengan maraknya modernasasi di perkotaan membentuk karakter hedonis yang menolak tradisi pesantren sehingga berdampak pandangan minus terhadap pesantren.
Apalagi banyak asumsi yang diketahui oleh masyarakat yang belum mengenal kehidupan di pesantren. Pesantren seringkali dianggap memiliki banyak aturan yang menghambat kebebasan berprilaku dan keterbatasan dalam bergaul.
Padahal pesantren mengajarkan esensi etika dalam Islam dan langkah awal mengasah kecerdasan spiritual (SQ), intelektual (IQ), dan emosional (EQ). Dari pesantren pula kemandirian terbentuk, seperti apa yang dialami oleh Mahaguru KH. Hasyim Asy’ari ketika berdagang dan bertani demi menuntut ilmu.
Keadaan seperti ini yang sangat menakutkan akan berdampak pada kemiskinan intelektual Islam di masa yang akan datang. Melihat sejarah kita tahu bahwa sosok seperti Syaikh Nawawi Al-Bantani, KH. Kholil Bangkalan, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan adalah intelektual yang terdidik dari pesantren dan memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan Islam serta transformasi sosial.
Maka kesadaran melihat masa lampau dan masa depan untuk terus membumisasikan lanjut ajaran Islam inilah yang perlu disadari. Konsekuensi logis terhadap minimnya minat santri diwilayah perkotaan adalah cenderung matinya benih-benih ulama dan intelektual Islam di masa depan.
Oleh sebab itu, menurut Nurcholis Madjid, di Indonesia sering didengungkan perlunya para sarjana keislaman memahami kitab kuning. Seruan itu merupakan bentuk sederhana rasa kesadaran dan keperluan pada sikap-sikap yang lebih apresiatif terhadap warisan intelektual Islam.
Disinilah peran orang-orang yang bertanggung jawab terhadap permasalahan ini dibutuhkan. Seharusnya pihak-pihak yang mengkhawatirkan hal ini juga mampu mensosialisasikan lebih dalam dan luas secara esensial serta subtansial mengenai pendidikan pesantren. Pesantren juga tampaknya perlu membenahi diri dalam menjawab tantangan zaman agar dapat menjadi sistem pendidikan alternatif di masa depan dan dapat berperan untuk menciptakan dukungan serta perubahan sosial.
Post a Comment for "KRISIS SANTRI DI KAWASAN PERKOTAAN"