Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Reaktualisasi Filosofi Santri


Jika dilihat dari aspek sejarah, doktrin, dan ajarannya, filosofi santri adalah pandangan hidup tentang seluruh sistem kepercayaan dan keyakinan santri. Filosofi itu mengatakan bahwa santri disebut sebagai manusia lahir-batin.  Istilah tersebut muncul karena santri percaya bahwa manusia terdiri dari dua dimensi yang tak terpisahkan, yakni dimensi lahir dan dimensi batin. Dimensi lahir manusia mencakup aspek-aspek kehidupannya yang bersifat indrawi, kasat mata, dan logis seperti daya intelektual, kemampuan atau skill, keterampilan, etos kerja, prestasi dan lain-lain. Sedangkan dimensi batin mencakup hal-hal yang tidak kasat mata, seperti moralitas dan spiritualitas.
Filosofi seperti inilah yang kemudian memunculkan khittah sistem pendidikan pesantren yang memadukan dua dimensi manusia tersebut. Yaitu sistem Tarbiyah yang berorientasi pada aspek batin dalam ranah moral spiritual, serta sistem Ta’limiyah yang berorientasi pada aspek lahir dalam ranah skill intelektual. Khittah sistem pendidikan pesantren yang mengintegrasikan aspek lahir dan aspek batin tentu sangat ideal untuk dijadikan pilihan di saat lembaga-lembaga pendidikan formal hanya terfokuskan terhadap aspek lahir belaka.
Sayangnya, sejauh ini belum banyak pesantren yang benar-benar serius merealisasikan idealisme sistem ini, sehingga ketimpangan masih dapat disaksikan dimana-mana. Betapa banyak orang pandai namun jahat dan membodohi umat, orang kaya namun justru memeras rakyat jelata, dan orang berkuasa namun justru menganiaya. Begitu juga sebaliknya, betapa banyak orang yang berbaik hati, shalih, bertaqwa, namun tidak kaya, tidak cerdas, tidak berkuasa, sehingga tidak mampu berbuat apa-apa yang berarti bagi peradaban. Karena pada kenyataannya, peradaban yang diharapkan seluruh elemen masyarakat membutuhkan manusia-manusia dengan integritas keilmuan lahir-batin; saintis yang agamis, politikus yang religius, pemikir yang ahli dzikir, filsuf yang tasawuf, pakar ekonomi yang islami, ilmuwan yang beriman, budayawan yang budiman, hartawan yang dermawan dan lain sebagainya.
Upaya-upaya untuk mencetak generasi yang mampu mendobrak peradaban tersebut mampu diwujudkan melalui pendidikan santri di pesantren. Karena dalam sistem pendidikan lahir-batin di pesantren, seorang santri dididik sebaik mungkin dengan menjaga keseimbangan antara IQ (Intelligence Quentient/kecerdasan intelektual), EQ (Emotional Quotient/kecerdasan emosional), serta SQ (Spiritual Quotient/kecerdasan spiritual). Sebab, pendidikan santri tidak pernah menekankan pada salah satu dari tiga aspek kecerdasan tersebut, karena memang kecerdasan yang utuh adalah keseimbangan antara IQ, EQ, dan SQ.
Pernyataan seperti ini bukan berarti tanpa alasan, hal tersebut dapat dibuktikan dengan sajian kurikulum pesantren yang mempertahankan khazanah klasik guna memperkaya kecerdasan intelektual santri. Ditambah lagi dukungan lingkungan multikultural yang berpengaruh pada kepekaan santri terhadap keadaan lingkungan yang memacu kecerdasan emosionalnya. Serta bimbingan rohani oleh para masyayikh, kyai, dan ustad yang mengolah ranah kecerdasan spiritual kaum sarungan tersebut.
Begitu juga filosofi yang mengatakan bahwa santri bisa disebut sebagai manusia sejarah. Karena pada kenyataanya, santri sangat percaya bahwa salah satu sejarah penciptaan manusia adalah bertujuan untuk menjalankan misi ketuhanan di bumi, sebagaimana penjelasan yang telah dikemukakan oleh Imam Al-Baghowi (wafat 510 H) dalam kitab Ma’alim At-Tanzil (lebih dikenal dengan sebutan Tafsir Al-Baghowi). Allah Swt telah berfirman dalam Al-Qur’an:
إِنِّيْ جَاعِلُ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَةً
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi”. (QS. Al-Baqarah: 30)
Sebagai khalifah di muka bumi, manusia diharuskan membangun kemakmuran peradaban bumi dan tidak berbuat kerusakan dalam sejarahnya. Kepercayaan seperti ini memunculkan sebuah filosofi yang mengharuskan santri memiliki pandangan hidup. Pemahaman atas pandangan hidup tersebut seakan menuntut dan mengarahkan seorang santri harus memiliki kredibilitas kelimuan, kemampuan, dan kekuatan untuk menguasai serta memimpin sejarah peradaban di zamannya. Sebab, tanpa kapasitas modal yang memadai, tugas kekhalifahan sangat sulit atau bahkan sangat tidak mungkin untuk terealisasi.
Filosofi seperti ini tidak mengizinkan sosok santri menjadi manusia yang memiliki pola pikir stagnan, tertinggal, terasing dari zamannya, dan terlebih lagi apabila tidak memiliki kontribusi maupun prestasi yang berarti untuk masa depan. Namun filosofi ini justru mendorong santri untuk memiliki jiwa optimistis untuk konsisten mewarisi dan memperkaya pemahaman khazanah klasik serta mampu bersaing di masa mendatang. Manusia dengan tipikal seperti itu yang akan mampu diharapkan untuk menjadi jembatan transformatif antar zaman (khalifah). Dari sinilah santri bisa disebut manusia sejarah sebagai generasi penerus yang mampu mengemban amanah untuk memegang tongkat estafet peradaban. Sebuah kalam syair mengatakan:
لَيْسَ الْفَتَى مَنْ يَقُوْلُ هَذَا أَبِيْ * وَلَكِنَّ الْفَتَى مَنْ يَقُوْلُ هَا أَنَا ذَا
“Generasi muda bukanlah mereka yang hanya bisa membanggakan leluhurnya (masa lalu), tetapi generasi muda adalah mereka yang sanggup membuktikan prestasi dirinya sendiri (modern)”.
Problematika zaman yang semakin maju perlu disimak dan diamati secara akurat, sebagai bahan untuk menentukan prospek santri di masa depan. Meskipun tetap mempertahankan ruh kesalafannya, aktualisasi dari filosofi-filosofi tersebut juga mendorong seorang santri melahirkan pemikiran dinamis, gerakan strategis dan berkemajuan sesuai tantangan zaman yang dihadapinya. Senada dengan spirit maqalah yang kerap dikumandangkan oleh kalangan santri pesantren, yaitu:
اَلْمُحَافَظَةُ عَلَى الْقَدِيْمِ الصَّالِحِ وّالْأَخْذُ بِالْجَدِيْدِ الْأَصْلَحِ
“Melestarikan warisan nilai-nilai tradisional yang baik, dan mengadopsi nilai-nilai modernitas yang lebih baik”.
Dari uraian di atas dapat ditarik benang merah, bahwa dengan mengetahui dan menghayati filosofi santri, diharapkan kalangan santri akan memahami khittah dan jati diri mereka yang sesungguhnya. Sehingga akan memunculkan inspirasi-inspirasi untuk merevolusi diri menjadi generasi pesantren yang memiliki rasa percaya diri, inovasi, dan prestasi. Konsep seperti inilah yang menjadi sebuah usaha (ikhtiyar) nyata dari kalangan santri untuk menjawab tantangan derasnya arus globalisasi. waAllahu a’alam bisshawab.

Post a Comment for "Reaktualisasi Filosofi Santri"