Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Download Pedoman Berpolitik Warga NU

SILAHKAN DOWNLOAD Di SINI
Benarkah Politik itu Kotor? Kekeliruan Berpikir Kaum Akademisi dan LSM
Ada golongan atau kelompok di tengah masyarakat kita, yaitu sebagian golongan kaum terdidik, yang menyatakan bahwa politik itu kotor. Karena juga selalu disosialisasikan secara massif oleh media massa, anggapan tersebut kini sudah menjadi persepsi umum yang hampir diamini oleh semua lapisan masyarakat.
Padahal anggapan ini kalau dilihat secara jernih dan mendalam, adalah anggapan yang keliru. Selama ini ada asumsi dan pemikiran dikalangan para akademisi dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), yaitu bahwa politik merupakan pekerjaan atau wilayah yang kotor. Seolah-olah semua orang yang terlibat dalam politik pasti akan kotor tanpa kecuali. Dengan 2 menyebut politik sebagai sesuatu yang kotor, pada saat yang sama, mereka seolah menyata-kan bahwa dunia akademis dan LSM adalah pekerjaan dan wilayah yang suci dan bersih. Ini tentu sebuah sikap takabbur, arogansi intelek-tual, simplifikasi dan generalisasi yang keliru. Bahwa ada politisi yang nakal dan korup itu adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Tapi bukan berarti karena perilaku satu atau dua orang lantas politik secara keseluruhan adalah kotor. Sebagaimana kenyataan bahwa ada akademisi atau aktivis LSM yang nakal dan tidak jujur. Itu tidak bisa digunakan untuk menggeneralisasi bahwa dunia akademik dan LSM adalah wilayah yang tidak jujur. Kalau di dunia media massa dikenal ada juru tinta yang dikenal dengan sebutan “wartawan bodong”, itu juga bukan berarti bisa disimpulkan bahwa dunia kewartawanan adalah ‘bodong’ semua. Kalau ada satu atau dua wartawan yang nakal, hal itu harus dilihat sebagai kasus per kasus, ada oknum wartawan, bukan dalam konteks lembaga atau organisasi kewartawanan secara`keseluruhan. Kalau ada beberapa orang Islam yang misalnya tertangkap sebagai pencuri, lantas apakah itu bisa digunakan sebagai dasar untuk menyimpulkan bahwa Islam adalah agama para pencuri? Tentu saja tidak. Kalau kesimpulan demikian yang dihasilkan, maka itu suatu pemikiran yang sangat keliru secara fatal. Kalau dari 560 anggota DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia), kurang dari 20 anggota disangka melakukan korupsi misal-nya, itu juga bukan berarti bisa dikatakan DPR sebagai lembaga adalah lembaga korup. Karena 540 anggota lainnya adalah orang-orang baik. Banyak sekali anggota DPR yang bekerja dari pagi sampai dinihari untuk melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat, bahkan di hari libur pun mereka tetap bekerja turun ke daerah. Kalau ada ustadz yang setiap kali ceramah selalu meminta bayaran dengan pasang tarif, itu bukan berarti dunia keustadzan adalah dunia yang ‘matre’. Ustadz yang berperilaku demikian hanyalah segolongan kecil dari sekian ustadz dan kiai yang berdakwah dengan penuh keikhlasan. Dalam konteks ini, lembaga (birokrasi,
agama, DPR, wartawan, dsb.) adalah sesuatu yang netral. Ibaratnya ia adalah sebuah pisau. Di tangan orang baik, pisau akan menjadi alat yang sangat berguna, setidaknya untuk keperluan dapur dan rumah tangga. Tapi ditangan orang jahat, pisau akan menjadi alat kejahatan yang bisa melukai orang lain. Anggapan atau katakanlah doktrin yang menyatakan bahwa politik itu kotor jelas tidak berasal dari tradisi atau ajaran Islam. Tidak ada satu pun ayat al-Quran atau Hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa politik adalah kotor. Tidak ditemukan ayat atau Hadis yang misalnya mendeklarasikan: “wahai orang-orang yang beriman, ketahuilah bahwa politik itu kotor. Maka jangan sekali-kali kalian berpolitik.” Sampai bibir ndower, atau sampai mata kering melotot, tidak akan pernah ditemu-kan dalil seperti itu dalam Islam. Asumsi yang menyatakan politik itu kotor berasal dari pemikiran Barat, setidaknya dari seorang Lord Acton yang menyatakan bahwa “politik atau kekuasaan adalah cenderung korup” (power tends to corrupt). Itulah ungkapan terkenal dari Lord Acton yang kemudian menjadi referensi sampai saat ini. Anggapan“kekuasaan cenderung korup” bisa jadi meng-copy paste sinyalemen kitab suci al-Quran yang menyatakan bahwa “nafsu
cenderung untuk melakukan hal yang tidak baik” (inna an-nafsa la ammarotun bis-su’). Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya nafsu itu menyeru kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhan.” Meski nafsu selalu cenderung kepada kejahatan dan perbuatan yang tidak baik, tetapi manusia tidak mungkin hidup tanpa nafsu. Sifat bawaan manusia adalah “jeda” antara malaikat dan setan. Kalau malaikat tidak memiliki nafsu, hidupnya total untuk beribadah kepada Allah. Sementara setan totalitas dengan nafsunya. Manusia juga mempunya sifat bawaan seperti malaikat, tetapi juga dilengkapi dengan nafsu sebagaimana setan. Untuk menjadi manusia utama dan baik, manusia diperintahkan oleh Allah SWT untuk bisa mengendalikan nafsunya. Orang yang bisa mengendalikan nafsunya adalah orang yang diberi rahmat oleh Allah SWT. Misalnya melalui ibadah puasa, nafsu manusia dikendalikan secara rutin. Juga melalui ibadah-ibadah yang lain. Meski memiliki nafsu, manusia tetap bisa menjadi hamba-Nya yang terbaik. Allah SWT
berfirman: “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari
keinginan hawa nafsunya, maka sesungguh- nya surga lah tempat tinggalnya.” Dengan demikian, tidak bisa politik disebut sebagai sesuatu yang kotor. Bahwa ada sebagian politisi yang kotor itu iya. Tetapi menyebut politik sebagai sesuatu yang kotor seperti halnya menyebut manusia sebagai setan. Bahwa ada sebagian manusia yang tunduk kepada nafsunya, itu iya. Tetapi manusia tetap manusia, di mana ia bisa menjadi khalifah Allah di muka bumi yang penuh dedikasi dan tanggung jawab. Politisi yang dirahmati Allah SWT dan selalu mendapat bimbingan-Nya adalah politisi yang baik. Politisi yang bisa mengendalikan nafsunya adalah hamba Allah yang mulia yang kelak bertempat tinggal di surga.

Post a Comment for "Download Pedoman Berpolitik Warga NU"