Ramai-ramai Menolak ISIS?
Ruang publik Indonesia
sedang heboh soal Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS). Istilah
Indonesia-nya Negara Islam di Irak dan Syiria (NIIS). Media massa cetak
maupun elektronik dipenuhi berita seputar kiprah ISIS dan penolakan
banyak kalangan atas keberadaan organisasi Islam radikal itu di
Indonesia.
Kehadiran ISIS di Indonesia ditolak oleh
semua Ormas Islam, tak terkecuali Hizbut Tahrir Indonesia (HTI, Partai
Kemerdekaan Indonesia) dan Jamaah Anshorut Tauhid (JAT). Ini menarik
karena HTI dan JAT sesungguhnya memiliki misi yang sama dengan ISIS,
yakni menegakkan sistem khilafah atau sistem pemerintahan Islam.Mereka
ingin mendirikan negara Islam sebagai alternatif dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), suatu negara demokrasi dengan Pancasila
sebagai ideologi negara. Lantas, mengapa HTI dan JAT ikut menolak ISIS?
Bukankah misi mereka sama-sama ingin mendirikan negara Islam?
Pada tataran inilah sebenarnya kita bisa
mencermati respon politik atas kehadiran ISIS. Gerakan politik radikal
pimpinan Abu Bakr al-Baghdadi itu menampilkan dua wajah utama. Pertama,
Islam formal yang romantis, utopis dan semu sebagai basis ideologi.
Kedua, perang, kekerasan dan teror sebagai metode untuk meluaskan
pengaruh politik maupun penguasaan teritorial.
Melalui media massa, terutama televisi,
publik dunia mengenal ISIS sebagai kelompok militan yang menghalalkan
segala cara untuk mencapai tujuan politik yang dibungkus agama. Atas
nama Islam, mereka mengabsahkan pembantaian, pembunuhan dan teror kepada
kemanusiaan. Dalam kesadaran kita sebagai bangsa yang beradab, pola
gerakan yang dipakai ISIS jelas bertentangan dengan Pancasila,
nilai-nilai kemanusian dan norma semua agama.
Sepak terjang ISIS yang berlumuran darah
tampak jelas menjadi sebab utama mengapa semua Ormas Islam dan juga
kalangan lain menolak keberadaannya di negeri ini. ISIS jelas bukan
gerakan Islam, melainkan gerakan politik radikal yang menggunakan Islam
sebagai alat propaganda politik dan perang. Kita bersyukur dan
mengapresiasi sikap politik Ormas-ormas Islam yang menolak ISIS itu.
Namun demikian, ada pertanyaan hipotetis
yang menarik. Seandainya ISIS tidak menggunakan metode kekerasan dalam
memperjuangkan tegaknya sistem kekhalifahan Islam, apakah organisasi
Islam semacam HTI dan JAT akan tetap menolak ISIS?
Di sini kita membincang eksistensi NKRI dan
Pancasila sebagai ideologi negara dan posisi politik ideologi
penantangnya. Pancasila dan NKRI merupakan komitmen politik seluruh
entitas bangsa Indonesia, termasuk kalangan Islam, yang telah melalui
proses berdarah-darah dalam sejarah. Di bawah NKRI dan Pancasila,
Indonesia menjadi negara demokrasi yang berketuhanan dan inklusif untuk
semua golongan.
Secara historis, sosiologis, kultural dan
politik, Pancasila dan NKRI adalah final. Keberadaannya menyatukan
seluruh entitas politik dalam ruang kebangsaan yang majemuk. Menantang
Pancasila dan NKRI secara politik tentu saja tidak dibenarkan dalam
sudut pandang apapun. Terlebih, hal itu akan mengancam keutuhan
negara-bangsa Indonesia.
Eksistensi ideologi di luar Pancasila tentu
saja tidak masalah selama ia tidak diorganisasikan secara politik.
Diskursus ideologi merupakan bagian dari ekspresi kebebasan yang dijamin
undang-undang. Namun, pengorganisasian politik atas dasar ideologi yang
bertentangan dengan Pancasila jelas tidak bisa dibenarkan dan bisa
dikategorikan sebagai tindakan makar kepada negara.
Suatu organisasi, terlepas apakah
menggunakan pendekatan kekerasan atau tidak dalam perjuangan politiknya,
ia tetap wajib ditolak apabila menantang ideologi negara dan bertujuan
merubah Pancasila dan NKRI. Hal ini tidak bisa ditawar karena sebagai
ideologi negara, Pancasila adalah kekuatan pemersatu yang diakui,
disepakati dan teruji dalam sejarah kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.
Dalam sudut pandang ini, kehadiran ISIS
nyata berlawanan dengan dua hal sekaligus, yakni ideologi negara dan
norma anti kekerasan baik yang bersumber dari agama maupun kebudayaan
masyarakat. Seperti halnya kita tidak bisa mentolerir penggunaan
kekerasan dalam perjuangan politik, maka kita juga tidak bisa mentolerir
apapun gerakan politik yang berkehendak mengganti Pancasila dan
meruntuhkan NKRI.
Tujuan ISIS untuk mendirikan negara Islam
atau menegakkan sistem khilafah merupakan hal yang salah dalam konteks
kenegaraan dan kebangsaan Indonesia yang berdasar Pancasila, UUD 1945,
NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Pendekatan kekerasan yang dipakai ISIS
dalam mewujudkan tujuannya adalah kesalahan yang kedua, karena
bertentangan dengan norma agama, norma negara dan norma kebudayaan
Indonesia. ISIS di Indonesia, dengan demikian, salah murokab alias
berganda: menantang Pancasila secara politik dan menggunakan kekerasan
untuk mencapai tujuannya.
Menolak eksistensi ISIS semata-mata karena
metode kekerasan yang digunakannya jelas tidak cukup memadai.
Anti-kekerasan adalah norma umum yang diterima masyarakat dimanapun.
Dus, menolak kekerasan dan organisasi yang mempromosikannya adalah
kewajiban kita sebagai manusia dan bangsa yang beradab.
Dalam konteks Indonesia, yang juga sangat
penting adalah sikap kita terhadap setiap gerakan politik –apapun basis
ideologinya– yang menantang dan berkehendak merubah Pancasila dan NKRI.
Tanpa harus menunggu suatu kelompok menggunakan kekerasan, penolakan
terhadap kelompok itu harus dilakukan pada saat ia berdiri sebagai
gerakan politik yang menantang dan berkehendak merubah Pancasila dan
NKRI. Negara tidak boleh abai dan kehilangan ketegasannya dalam ini.
Pancasila dan NKRI adalah final. No more debate, no more fight!
Post a Comment for "Ramai-ramai Menolak ISIS?"