MAKALAH PEMIKIRAN KALAM SYI’AH
MAKALAH
PEMIKIRAN KALAM SYI’AH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbicara mengenai syiah ataupun aliran syiah, kita tidak akan
terlepas dengan mengaitkan hal tersebut dengan agama islam. Di kalangan awam
masyarakat islam menganggap syiah adalah eksistensi yang tidak jelas,
tidak diketahui apa hakikatnya, bagaimana berkembang, tidak melihat bagaimana
sejarahnya, dan tidak dapat diprediksi bagaimana di kemudian hari. Mereka
selalu mengaitkan bahwa syiah adalah islam. Padahal islam dan syiah sangat
berbeda sekali, terutama dalam hal aqidahnya. bagaikan minyak dan air yang
tidak mungkin dapat di satukan lagi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari aliran syi’ah?
2. Bagaimana latar belakang munculnya syi’ah?
3. Bagaimana munculnya perbedaan
pendapat mengenai kalangan Syi’ah?
4. Apa saja pembagian-pembagian dalam aliran
syi’ah?
C. Tujun Masalah
1. Mengetahui pengertian dari aliran syi’ah
2. Mengetahui latar belakang munculnya syi’ah
3. Mengetahui munculnya
perbedaan pendapat mengenai kalangan Syi’ah
4. Mengetahui pembagian-pembagian dalam aaliran
syi’ah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Aliran Syi’ah
Kata Syiah menurut bahasa adalah pendukung atau pembela. Syiah Ali
adalah pendukung atau pembela Ali. Syiah Muawiyah adalah pendukung Muawiyah.
Pada zaman Abu Bakar, Umar dan Utsman kata Syiah dalam arti nama kelompok orang
Islam belum dikenal. Kalau pada waktu pemilihan khalifah ketiga ada yang
mendukung Ali, tetapi setelah ummat Islam memutuskan memilih Utsman bin Affan,
maka orang-orang yang tadinya mendukung Ali, berbaiat kepada Utsman termasuk
Ali. Jadi belum terbentuk secara faktual kelompok ummat Islam Syiah.[1]
Maka ketika terjadi pertikaian dan peperangan antara Ali dan Muawiyah,
barulah kata “Syiah” muncul sebagai nama kelompok ummat Islam. Tetapi bukan
hanya pendukung Ali yang yang disebut Syiah, namun pendukung Muawiyah juga
disebut Syiah Muawiyah.
Menurut
Thabathabai, istilah Syi’ah
untuk pertama kalinya ditunjukkan pada para pengikut Ali
(Syi’ah Ali), pemimpin pertama ahlul bait
pada masa Nabi
Muhammad SAW. Para pengikut
Ali yang disebut Syi’ah itu di antaranya
adalah Abu Dzar Al-
Ghiffari, Miqad bin
Al- Aswad, dan Ammar bin Yasir.[2]
B. Latar Belakang Munculnya Syi’ah
Mengenai kemunculan syi’ah dalam sejarah terdapat
perbedaan dikalangan ahli. Menurut Abu Zahrah,
Syi’ah mulai muncul
pada masa akhir pemerintahan
Usman bin Affan
kemudian tumbuh dan berkembang pada
masa pemerintahan Ali
bin Thalib.
Adapun menurut
Watt, Syi’ah baru
benar-benar muncul ketika
berlangsung peperangan antara Ali dan
Mu’awiyah yang dikenal
dengan perang Siffin. Dalam peperangan ini,
sebagai respon atas
penerimaan Ali terhadap
arbitrase yang ditawarkan Muawiyah,
pasukan Ali diceritakan
terpecah menjadi dua, satu
kelompok mendukung sikap
Ali kelak disebut
Syi’ah dan kelompok lain menolak
sikap Ali, kelak disebut Khawarij.[3]
Kalangan Syi’ah sendiri
berpendapat bahwa kemunculan
Syi’ah berkaitan dengan masalah
pengganti (khalifah) Nabi
Muhammad SAW. Mereka menolak
kekhalifahan Abu Bakar,
Umar bin Khaththab,
dan Usman bin Affan
karena dalam pandangan
mereka hanya Ali bin
Abi Thaliblah yang berhak
menggantikan Nabi. Kepemimpinan
Ali dalam pandangan Syi’ah
tersebut sejalan dengan
isyarat-isyarat yang diberikan oleh Nabi
Muhammad SAW pada
masa hidupnya. Pada awal kenabian,
ketika Muhammad SAW diperintahkan menyampaikan
dakwah kepada kerabatnya, yang
pertama-tama menerima adalah
Ali bin Abi
Thalib. Diceritakan bahwa Nabi
pada saat itu
mengatakan bahwa orang
yang pertama-tama memenuhi ajakannya akan menjadi penerus dan
pewarisnya. Selain itu, sepanjang
kenabian Muhammad SAW,
Ali merupakan orang yang menunjukkan perjuangan dan pengabdian
yang luar biasa besar.[4]
Bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah
peristiwa Ghadir Khumm. Diceritakan bahwa ketika kembali dari haji terakhir,
dalam perjalanan dari Mekkah ke Madinah di suatu padang pasir yang bernama
Ghadir Khumm. Nabi memilih Ali sebagai pengantinya dihadapan massa yang
menyertai beliau. Pada peristiwa itu, Nabi tidak hanya menetapkan Ali sebagai
pemimpin umum umat (walyat-i ‘ammali), tetapi juga menjadikan Ali
sebagaimana Nabi sendiri, sebagai pelindung (wali) mereka. Namun realitasnya
berbicara laim.
Berlawanan dengan harapan mereka, ketika nabi wafat dan
jasadnya belum dikuburkan, ada kelompok lain yang pergi ke masjid untuk
menentukan pemimpin yang baru karena hilangnya pemimpin yang secara tiba-tiba,
sedangkan anggota keluarga nabi dan beberapa sahabat masih sibuk
dengan persiapan upacara pemakaman Nabi. Kelompok inilah yang kemudian
menjadai mayoritas bertindak lebih jauh dan dengan sangat tergesa-gesa memilih
pemimpin yang baru dengan alasan kesejahteraan umat dann memcahkan masalah
mereka saat itu. Mereka
melakukan itu tanpa berunding dahulu dengan ahlul bait, kerabat, atau pun
sahabat yang pada saat itu masih mengurusi pemakaman. Mereka tidak memberi tahu
sedikitpun. Dengan demikian, kawan-kawan Ali dihdapkan pada suatu hal yang
sudah tak bisa berubah lagi (faith accomply).
Karena kenyataan itulah muncul suatu sikap dari kalangan kaum
muslimin yang menentanga kekhalifahan dan kaum mayoritas dalam masalah-masalah
kepercayaan tertentu. Mereka tetap berpendapat bahwa pengganti nabi dan
penguasa keagamaan yang sah adalah Ali. Mereka yakin bahwa semua masalah
kerohanian dan agama harus merujuk kepadanya dan mengajak masyarakat
mengikutinya. Kaum inilah yang disebut dengan kaum Syi’ah. Namun lebih dari
pada itu, seperti yang dikatakan Nasr, sebab utama munculnya Syi’ah terletak
pada kenyataan bahwa kemungkinan ini ada dalam wahyu islam sendiri, sehingga
mesti diwujudkan.[5]
C. Perbedaan Pendapat Mengenai
Syi’ah
Perbedaan
pendapat dikalangan para ahli mengenai kalangan Syi’ah merupakan sesuatu yang
wajar. Para ahli berpegang teguh pada fakta sejarah “perpecahan” dalam Islam
yang memang mulai mencolok pada masa pemerintahan Usman bin Affan dan
memperoleh momentumnya yang paling kuat pada masa pemerintahan Ali bin Abi
Thalib, tepatnya setelah Perang Siffin. Adapun kaum Syi’ah, berdasarkan
hadits-hadits yang mereka terima dari ahl al-bait, berpendapat bahwa perpecahan
itu sudah mulai ketika Nabi SAW. Wafat dan kekhalifahan jatuh ke tangan Abu
Bakar. Segera setelah itu terbentuklah Syi’ah. Bagi mereka, pada masa
kepemimpinan Al-Khulafa Ar-rasyidin sekalipun, jkelompok Syi’ah sudah ada. Mereka
bergerak di bawah permukaan untuk mengajarkan dan menyebarkan doktrin-doktrin syi’ah
kepada masyarakat.
Syi’ah
mendapatkan pengikut yang besar terutama pada masa dinasti Amawiyah. Hal ini
menurut Abu Zahrah merupakan akibat dari perlakuan kasar dan kejam dinasti ini
terdapat ahl al-Bait. Diantara bentuk kekerasan itu adalah yang dilakukan
pengusaha bani Umayyah. Yazid bin Muawiyah, umpamanya, pernah memerintahkan
pasukannya yang dipimpin oleh Ibn Ziyad untuk memenggal kepala Husein bin Ali
di Karbala.[6]
Diceritakan bahwa setelah dipenggal, kepala Husein dibawa ke hadapan Yazid dan
dengan tonkatnya Yazid memukul kepala cucu Nabi SAW. Yang pada waktu kecilnya
sering dicium Nabi. Kekejaman
seperti ini menyebabkan kebagian kaum muslimin tertarik dan mengikuti mazhab
Syi’ah, atau paling tidak menaruh simpati mendalam terhadap tragedy yang
menimpa ahl al-bait.
Dalam perkembangan selain memperjuangkan hak kekhalifahan ahl-al bait dihadapan
dinasti Ammawiyah dan Abbasiyah, syi’ah juga mengembangkan doktrin-doktrinnya
sendiri. Berkitan dengan teologi, mereka
mempunyai lima rukun iman, yakni tauhid (kepercayaan kepada kenabian), Nubuwwah
(Percaya kepada kenabian), Ma’ad (kepercyaan akan adanya hidup diakhirat),
imamah (kepercayaan terhadap adanya imamah yang merupakan ahl-al bait), dan adl
(keadaan ilahi). Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia ditulis bahwa perbedaan
antara sunni dan syi’ah terletak pada doktrin imamah.[7] Meskipun
mempunyai landasan keimanan yang sama, syi’ah tidak dapat mempertahankan
kesatuannya. Dalam perjalanan sejrah, kelompok ini akhirnya tepecah menjadi
beberapa sekte. Perpecahan ini terutama dipicu oleh masalah doktrin imamah.
Diantara sekte-sekte syi’ah itu adalah Itsna Asy’ariyah, Sab’iyah. Zaidiyah,
dan Ghullat.
D. Pembagian-Pembagian Syi’ah
Semua sekte dalam Syi'ah sepakat bahwa imam yang pertama adalah Ali
bin Abi Thalib, kemudian Hasan bin Ali, lalu Husein bin Ali. Namun setelah itu
muncul perselisihan mengenai siapa pengganti imam Husein bin Ali. Dalam hal ini muncul dua pendapat. Pendapat
kelompok pertama yaitu imamah beralih kepada Ali bin Husein, putera
Husein bin Ali, sedangkan kelompok lainnya meyakini bahwa imamah beralih kepada
Muhammad bin Hanafiyah, putera Ali bin Abi Thalib dari isteri bukan Fatimah.
Akibat perbedaan antara dua kelompok ini maka muncul beberapa sekte
dalam Syi'ah. Para penulis klasik berselisih tajam mengenai pembagian sekte
dalam Syi'ah ini. Akan tetapi, para ahli umumnya membagi sekte Syi'ah dalam
empat golongan besar, yaitu Itsna Asy’ariyah, Sab’iyah. Zaidiyah, dan Ghullat. Di antara sekte atau
pembagian Syi’ah itu
adalah :
1. Syi’ah Imamiyah atau Syi’ah Itsna Asyariyah
Dinamakan Syiah Imamiah karena yang menjadi dasar
akidahnya adalah persoalan imam dalam arti pemimpin religio-politik, yaitu
bahwa Ali berhak menjadi Khalifah bukan hanya kecakapannya atau kemulian
akhlaknya, tetapi Ia telah ditunjukkan dan pantas menjadi Khalifah pewaris
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Ide tentang hak Ali dan keturunannya untuk
menduduki jabatan imam atau Khalifah telah ada semenjak Nabi wafat, yaitu dalam
perbincangan politik di Saqifah Bani Sa’idah.
Syi’ah Imamiyah
juga dinamai dengan
Isna Asyariyah. Disebut Isna
Asyariyah karena mereka
mempunyai dua belas
imam, Kedua belas imam yang mereka yakini itu adalah: (1) Ali bin Abi
Thalib, (2) Hasan bin Ali, (3) Husain bin Ali, (4) Ali Zainal Abidin, (5) Muhammad
al-Baqir, (6) Ja’far al-Shadiq, (7) Musa al-Khadim, (8) Ali al-Ridha, (9) Muhammad
al-Jawwad, (10) Ali al-Hadi, (11) Al-Hasan al-Askari, (12) Muhammad al-Muntadhar.
Dalam perkambangannya, Syi'ah dua belas mengalami perkembangan pemahaman. Berikut ini adalah beberapa pemahaman
atau ajaran pokok syi'ah Dua Belas antara lain:
a.
Al-Ishmah yang
mengajarkan atau meyakini bahwa imam itu seperti Nabi.
b.
Al-mahdiah yaitu
meyakini adanya imam mahdi yang masuk kedalam lorong. Imam mahdi telah
ditunggu-tunggu kedatangannya oleh para pengikut aliran syi’ah Dua Belas ini.
c.
At-taqiyyah.
Berdasarkan buku yang ditulis oleh Dr. H. Muh. Arief Halim, Ma., disebutkan
bahwa yang dimaksud attaqiyah adalah menyembunyikan faham yakni, menyembunyikan
paham yang sebenarnya dan menampakkan paham yang lain dari apa yang ada didalam
hatinya.
d.
Al-Raj’ah mengajarkan
dan percaya bahwa imam Mahdi kelak akan muncul ditengah-tengah umat islam.
e.
Nikah Mut’ah yang
dibolehkan dalam aliran syi’ah 12.[8]
2. Syi’ah Sabi’ah
Istilah Syi’ah
Sab’iyah (Syi’ah Tujuh)
dianalogikan dengan syi’ah Isna asyariyah. Istilah itu memberikan pengertian
bahwa sekte Syi’ah Sab’iyah hanya
mengakui tujuh imam,
yaitu Ali bin Abi Tholib, Hasan, Husein, Ali
Zainal Abidin, Muhammad
al-Baqir, Ja’far Ash-Shadiq, dan Ismail
bin Ja’far Ash-Shadiq.
Karena dinisbatkan pada
imam ketujuh, Ismail bin
Ja’far Ash-Shadiq, Syi’ah
Sab’iyah disebut juga Syi’ah Ismailiyah.[9]
Ajaran-ajaran Syi’ah sab’iah yang lainnya antara lain:
a.
Ajaran-ajaran Syi’ah
Sabi’ah yang lain pada dasarnya sama dengan ajaran sekte-sekte Syi’ah lainnya.
Perbedaannya terletak pada konsep kemaksuman iman, adanya aspek batin pada
setiap yang lahir dan penolakannya terhadap Almahdi almuntazhar. Sabi’ah
berpendapat bahwa walaupun terlihat
melakukan kesalahan dan menyimpang dari syari’at, seorang imam
sesungguhnya tidak menyimpang karna mempunyai pengetahuan yang tidak dimiliki
manusia biasa. Konsep kemaksuman imam seperti itu merupakan konsekuensi logis
dari doktrin Sab’iah tentang pengetahuan imam akan ilmu batin.
b.
Ada satu sekte dalam
Sab’iah yang berpendapat bahwa Tuhan mengambil tempat dalam diri imam. Oleh
karena itu, imam harus disembah. Salah seorang khalifah dinasti Fatimiyah,
Al-Hakim bin Amrillah (1.375 H), berkeyakinan bahwa dalam dirinya terdapat
Tuhan karena ia memaksa rakyat supaya menyembahnya.
c.
Menerut Sab’iah,
Al-Qur’an memiliki makna batin selain yang Lahir. Dikatakan bahwa segi-segi
Lahir atau tersurat dari Syari’at itu diperuntukan bagi orang Awam yang
kecerdasaanya terbatas dan tidak memiliki kesempurnaan rohani.
d.
Dengan prinsip Takwil,
Sab’iah menakwilkan misalnya ayat Al-Qur’an tentang puasa dengan menahan diri
dari menyiarkan rahasia-rahasia imam, dan ayat Al-Qur’an tentang Haji dengan
mengunjungi imam. Bahkan, diantara mereka ada yang menggugurkan kewajiban
ibadah. Mereka itu adalah orang-orang yang telah mengenal imam dan mengetahui
takwil (melalui imam).
3. Syi’ah Zaidiyah
Disebut Zaidiyah
karena sekte ini
mengakui Zaid bin Ali sebagai imam
kelima, setelah Ali
bin Abi Thalib.
Aliran ini
yang paling dekat dengan kepada jama’ah Islam (Sunni) dan paling moderat
karena tidak mengangkat
para imam ke
derajat kenabian. Namun, mereka menganggap para imam sebagai
manusia paling utama setelah
Nabi Muhammad.[10]
Aliran Zaidiyah
tidak berkeyakinan bahwa seorang imam yang mewarisi kepemimpinan
Rasulullah telah ditentukan
nama dan orangnya oleh
Rasul, tetapi hanya
sifat-sifatnya saja. Namun,
sifatsifat yang disebutkan itu telah membuat Ali sebagai orang yang
pantas menjadi imam setelah
Rasulullah wafat, karena
sifat-sifat itu tidak dimiliki orang lain.
Syiah Zaidiyah
juga berpendapat bahwa
kekhalifahan Abu Bakar dan
Umar bin Khatab
adalah sah dari
sudut pandang Islam. Dalam
pandangan mereka, jika
ahlul halli wal
aqdi telah memilih seorang imam
dari kaum muslim, meskipun ia tidak memenuhi sifatsifat keimanan
yang ditetapkan oleh Zaidiyah
dan telah dibaiat
oleh mereka, keimanannya menjadi sah.
Pokok-pokok ajaran Syi’ah Zaidiyah, terdiri dari beberapa hal. Diantaranya:
a.
Meyakini seseorang dari keturunan
Fathimah (puteri Nabi) yang melancarkan pemberontakan dalam membela kebenaran,
dapat diakui sebagai imam, jika ia memiliki pengetahuan keagamaan, berakhlak
mulia, berani, dan murah hati. Selanjutnya mereka mengatakan bahwa siapapun
dari keturunan Ali bin Abi Thalib dapat menjadi imam, bisa lebih dari seorang
dan bahkan tidak ada sama sekali. Jabatan imam dapat dikukuhkan berdasarkan
kemampuan dalam memimpin dan dapat juga berdasarkan latar belakang pendidikan.
b.
Ajaran Syi’ah Zaidiyah mengenai
kepemimpinan Khulafa al-Rasyidin, mengakui kekhalifahan Abu Bakr, Umar dan
Utsman pada awal masa pemerintahannya, meskipun Ali bin Abi thalib dinilainya
sebagai sahabat yang paling mulia. Dalam kaitan ini, terdapat konsep Syi’ah
Zaidiyah yang berbunyi : جواز امامة المفضول مع وجود
الأفضل . Yang dimaksud dengan المفضول adalah
Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Usman. Sedangkan yang dimaksud dengan الأفضل ialah Ali bin Abi Thalib.
c.
Dalam ajaran Syi’ah Zaidiyah,
tidak mengakui paham ishmah, yaitu keyakinan bahwa para imam dijamin oleh Allah
dari perbuatan salah, lupa dan dosa. Mereka juga menolak paham rajaah (seorang
imam akan muncul sesudah bersembunyi atau mati), paham mahdiyah (seorang imam
yang bergelar al-Mahdi akan muncul untuk mengambangkan keadilan dan memusnahkan
kebatilan), dan paham taqiyah (sikap kehati-hatian dengan menyembunyikan
identitas di depan lawan).
d.
Dari segi ushul atau
prinsip-prinsip umum Islam, ajaran Syi’ah Zaidiyah mengikuti jalan yang dekat dengan
paham Mu’tazilah atau paham rasionalis. Adapun dari segi furu’ atau masalah
hukum dan lembaga-lembaganya, mereka menerapkan fikih Hanafi (salah satu mazhab
fikih dari golongan Sunni). Karenanya, dalam hal nikah mut’ah mereka
mengharamkannya, meskipun pada awal Islam nikah itu pernah dibolehkan namun
telah dibatalkan. Dewasa ini, fikih Syi’ah Zaidiyah termasuk fikih yang
diajarkan di Universitas al-Azhar.
4. Syi’ah Ghulat
Istilah Ghulat
berasal dari kata
ghala-yaghlu-ghuluw artinya bertambah dan naik. Ghala bi ad-dinartinya
memperkuat dan menjadi ekstrim
sehingga melampaui batas.
Syi’ah Ghulat adalah
kelompok pendukung Ali yang
memiliki sikap berlebih-lebihan atau
ekstrim. Lebih jauh, Abu
Zahrah menjelaskan bahwa
Syi’ah Ghulat adalah kelompok yang menempatkan Ali pada
derajat kenabian, bahkan lebih tinggi dari pada Muhammad. Gelar ekstrim
(ghuluw) yang diberikan kepada
kelompok ini berkaitan dengan
pendapatnya yang janggal, yakni ada beberapa orang yang secara khusus dianggap
Tuhan dan juga ada beberapa orang yang dianggap Rasul setelah Nabi Muhammad
saw.[11]
Menurut Al Baghdadi, Syi'ah Ghulat telah ada sejak
zaman kehilafahan sahabat Ali. Saat itu mereka memanggil beliau dengan sebutan;
"Anta, Anta" yang merujuk kepada makna Tuhan. Sebahagian dari
mereka mendapatkan eksekusi mati dengan cara dibakar oleh Khalifah Ali,
sementara itu pemimpin mereka yang bernama Abdullah bin Saba' dibuang ke
Mada'in. Pada perkembangannya, diantara mereka bahkan ada yang menyalahkan
sikap Ali, mengutuk dan mendurhakakannya karena dianggap tidak menuntut
kehilafahannya sepeninggalan Rasulullah.
Kelompok Ghulat dapat dikelompokkan kedalam dua
golongan yaitu Saba'iyah dan al Ghurabiyah. Golongan Saba'iyah berasal dari
pencetus ide-ide Syi'ah awal yaitu Abdullah bin Saba'. Nama Abdullah bin Saba'
diakui oleh pembesar Syi'ah seperti Al Qummi di dalam kitabnya Al Maqâlat wa
al Firâq , sebagai seseorang yang pertamakali menobatkan keimamahan Ali dan
mencela Abu Bakar, Umar dan Utsman serta para sahabat lainnya. Sebagaimana hal
itu juga diakui oleh Al Kasyi dalam kitabnya yang terkenal Rijalul Kasyi.
Menurut Al Bagdadi sekte As Saba'iyah menganggap Ali sebagai Tuhan. Padahal
Abdullah bin Saba' sendiri merupakan tokoh penyusup dari kalangan Yahudi dari
penduduk Hirrah yang mengaku-ngaku sebagai muslim. Kelompok saba'iyah juga
beranggapan bahwa Ali tidak dibunuh oleh Abdurrahman Ibn Muljam melainkan
seseorang yang diserupakan wajahnya seperti Ali. Menurut mereka Ali telah naik
kelangit dan disanalah tempatnya. Petir adalah suaranya dan Kilat adalah
senyumnya.
Kelompok lainnya adalah al Ghurabiyah. Prof. Dr.
Ali Abdul Wahid Wafi menyebutkan, meski tak seekstrim saba'iyah dalam
memposisikan Ali bin Abi Thalib hingga ke tingat Tuhan, akan tetapi kelompok
ini telah menganggap Malaikat Jibril salah alamat dalam memberikan risalah
Allah kepada Muhammad. Seharusnya yang menerima kerasulan itu adalah Ali bin
Abi Thalib. Oleh sebab itulah Allah terpaksa mengakui Muhammad sebagai
utusan-Nya.
Adapun menurut Syahrastani ada enam doktrin yang
membuat mereka ekstrim yaitu:
a.
Tanasukh, yang merupakan keluarrnya roh dari satu jasad
dan mengambil tempat pada jasad yang lain. Faham ini diambil dari falsafah
Hindu. Penganut agama Hindu berkeyakinan bahwa roh disiksa dengan cara berpindah
ke tubuh hewan yang lebih rendah dan diberi pahala dengan cara berpindah dari
satu kehidupan kepada kehidupan yang lebih tinggi. Syi’ah Ghulat menerapkan
faham ini dalam konsep imamahnya, sehingga ada yang menyatakan seperti Abdullah
Bin Muawiyah Bin Abdullah Bin Ja’far bahwa roh Allah berpindah kepada Adam
kemudian kepada imam-imam secara turun-temurun.
b.
Bada’, yang merupakan keyakinan bahwa Allah mengubah
kehendakNya sejalan dengan perubahan ilmuNya, serta dapat memerintahkan dan
juga sebaliknya. Syahrastani menjelaskan lebih lanjut bahwa bada’ dalam
pandangan Syi’ah Ghulat memiliki bebrapa arti. Bila berkaitan dengan
ilmu, maka artinya menampakkan sesuatu yang bertentangan dengan yang diketahui
Allah. Bila berkaitan dengan kehendak maka artinya memperlihatkan yang benar
dengan menyalahi yang dikehendaki dan hukum yang diterapkanNya. Bila berkaitan
dengan perintah maka artinya yaitumemerintahkan hal lain yang bertentangan
dengan perintah yang sebelumnya. Faham ini dipilih oleh Mukhtar ketika mendakwakan
dirinya dengan mengetahui hal-hal yang akan terjadi, baik melalui wahyu yang
diturunkan kepadanya atau melalui surat dari imam. Jika ia menjanjikan kepada
pengikutnya akan terjadi sesuatu, lalu hal itu benar-benar terjadi seperti yang
diucapkan, maka itu dijustifikasikan sebagai bukti kebenaran ucapannya. Namun
jiak terjadi sebaliknya, ia mengatakan bahwa Tuhan menghendaki bada’.
c.
Raj’ah yang masih ada hubungannya
dengan mahdiyah. Syi’ah Ghulat mempercayai bahwa Imam Mahdi Al-Muntazhar akan
datang ke bumi. Faham raj’ah dan mahdiyah ini merupakan ajaran seluruh sekte
dalam Syi’ah. Namun mereka berbeda pendapat tentang siapa yang akan kembali.
Sebagian mengatakan bahwa yang akan kembali itu adalah Ali dan sebagian lagi
megatakan bahwa yang akan kembali adalah Ja’far As-Shaddiq, Muhammad bin
Al-Hanafiah, bahkan ada yang mengatakan Mukhtar Ats-Tsaqafi.
d.
Tasbih artinya
menyerupakan, mempersamakan. Syi’ah Ghulat menyerupakan salah seorang imam
mereka dengan Tuhan atau menyerupakan Tuhan dengan makhluk. Tasbih ini diambil
dari faham hululiyah dan tanasukh dengan khaliq.
e.
Hulul artinya Tuhan berada pada
setiap tempat, berbicara dengan semua bahasa dan ada pada setiap individu
manusia. Hulul bagi Syi’ah ghulat berarti Tuhan menjelma dalam diri imam
sehingga imam harus disembah.
f.
Ghayba yang artinya menghilangkan
Imam Mahdi. Ghayba merupakan kepercayaan Syi’ah bahwa Imam Mahdi itu ada di
dalam negeri ini dan tidak dapat dilihat oleh mata biasa. Konssep ghayba
pertama kali diperkenalkan oleh Mukhtar Ats-Tsaqafi pada tahun 66 H/686 M di
Kufa ketika mempropagandakan Muhammad Bin Hanafiyah sebagai Imam Mahdi.[12]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kata Syiah menurut bahasa adalah pendukung atau pembela. Syiah Ali
adalah pendukung atau pembela Ali. Syiah Muawiyah adalah pendukung Muawiyah.
Pada zaman Abu Bakar, Umar dan Utsman kata Syiah dalam arti nama kelompok orang
Islam belum dikenal. Kalau pada waktu pemilihan khalifah ketiga ada yang
mendukung Ali, tetapi setelah ummat Islam memutuskan memilih Utsman bin Affan,
maka orang-orang yang tadinya mendukung Ali, berbaiat kepada Utsman termasuk
Ali. Jadi belum terbentuk secara faktual kelompok ummat Islam Syiah.
Maka ketika terjadi pertikaian dan peperangan antara Ali dan Muawiyah,
barulah kata “Syiah” muncul sebagai nama kelompok ummat Islam. Tetapi bukan
hanya pendukung Ali yang yang disebut Syiah, namun pendukung Muawiyah juga
disebut Syiah Muawiyah.
Semua sekte dalam Syi'ah sepakat bahwa imam yang pertama adalah Ali
bin Abi Thalib, kemudian Hasan bin Ali, lalu Husein bin Ali. Namun setelah itu
muncul perselisihan mengenai siapa pengganti imam Husein bin Ali. Dalam hal ini muncul dua pendapat. Pendapat
kelompok pertama yaitu imamah beralih kepada Ali bin Husein, putera
Husein bin Ali, sedangkan kelompok lainnya meyakini bahwa imamah beralih kepada
Muhammad bin Hanafiyah, putera Ali bin Abi Thalib dari isteri bukan Fatimah.
Akibat perbedaan antara dua kelompok ini maka
muncul beberapa sekte dalam Syi'ah. Para
penulis klasik berselisih tajam mengenai pembagian sekte dalam Syi'ah ini. Akan
tetapi, para ahli umumnya membagi sekte Syi'ah dalam empat golongan besar,
yaitu Itsna Asy’ariyah, Sab’iyah. Zaidiyah, dan Ghullat.
B.
Saran
Daftar Pustaka
A. Nasir, Sahilun. Pemikiran Kalam (Teologi Islam)
Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya. Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2010.
Abu
Zahrah, Muhammad.
Aliran Politik dan
Aqidah dalam Islam.
Terj. Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib. Jakarta:
Logos. 1996.
K.H. Moh. Dawan Anwar dkk, Mengapa Kita
Menolak Syi’ah: Kumpulan Makalah seminar Nasional tentang Syi’ah, (Jakata:
Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, 1998.
Mulyono. M.A. & Drs. Bashori. Studi Ilmu
Tauhid/Kalam. Malang: UIN-MALIKI PRESS. 2010.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya. Jilid I, t.t.

Razak, Abdur & Rosihan Anwar. Ilmu Kalam.
Bandung: Puskata Setia. 2006. cet ke-2.
Thabathabai. Islam Syi’ah:
Asal-Usul dan Perkembangannya. Terj. Djohan
Effendi. Jakarta: Grafiti Press. 1989.
[1]K.H.
Moh. Dawan Anwar dkk, Mengapa Kita Menolak Syi’ah: Kumpulan Makalah seminar
Nasional tentang Syi’ah, (Jakata: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam,
1998), hlm 4.
(Jakarta: Grafiti Press, 1989), hlm. 37.
[6]Sahilun A. Nasir,
Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2010), hal. 82
[7]Harun Nasution,
Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press,
1986), cet ke-5, h. 135-136
[8]Mulyono, M.A. dan Drs. Bashori, Studi Ilmu Tauhid/Kalam, (Malang: UIN-MALIKI
PRESS 2010), hlm. 108-116
Post a Comment for "MAKALAH PEMIKIRAN KALAM SYI’AH"