Tan MALAKA Serta Warisan Kepada Anak Bangsa
Siapakah Tan Malaka ?
Mungkn nama Tan Malaka jarang diperhatikan selama ini. akan tetapi ketahuilah sosok tan malaka bukanlah sosok manusia yang kecil. Tampaknya ideologi telah menjadi alasan banyak orang untuk merdeka menghakimi, tanpa pernah peduli apa yang pernah dia beri. Alhasil, puluhan tahun, Tan Malaka nyaris tak kenal henti didudukkan dan dihakimi sebagai penjahat, sebagai komunis, sebagai PKI. Padahal Tan Malaka dapat dibilang sebagai tokoh sangat mengenal Islam, dan bahkan jauh mendalami Islam dibandingkan dengan Soekarno atau bahkan Mohammad Hatta. Terlebih dia pun telah belajar Islam dari kanak-kanak, dan kabarnya pernah mendalami tarikat hingga pernah menjadi guru agama di kampung asalnya, Limapuluh Koto, Sumatra Barat.
Tan Malaka adalah pribadi yang tak ingin terkungkung oleh satu ideologi, maka itu alih-alih mengikuti PKI, ia lebih memilih untuk menggagas Partai Musyawarah Rakyat Banyak alias Murba. Ia punya kemiripan dengan Soekarno yang cenderung berada di tengah, meski kemudian persepsi yang lebih terbangun di tengah publik dan turut dibesar-besarkan lawan politiknya; dia adalah seorang komunis yang tak bedanya dengan kalangan PKI umumnya.
Tudingan miring ke arahnya lantaran memang rekam jejaknya di dunia politik dan pergerakan tak lepas dari sosok Henk Sneevliet, seorang Belanda yang belakangan menjadi Bapak Komunis bagi kalangan kiri. Maklum Sneevliet sendiri adalah salah satu penggagas Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) yang pernah tercatat sebagai organisasi pergerakan yang terbilang paling berpengaruh di zamannya.
Terlepas dari semua kegemilangan maupun kontroversinya, gagasan Tan Malaka adalah pemikiran orisinal anak bangsa yang ditujukan untuk kemajuan peradaban bangsanya dan mendapat tempat yang mendunia. Keseluruhan gagasan Tan Malaka harus diapresiasi sebagai sebuah kesempurnaan olah budi sehingga harus dilestarikan dalam taman sari khazanah intelektual bangsa Indonesia.
Dalam konteks kekinian, ada dua pilihan moderat untuk melestarikan warisan Tan Malaka.
Pertama, memopulerkannya sebagai kajian akademik, khususnya di perguruan-perguruan tinggi. Gagasan Tan Malaka akan memperkaya ilmu sosial dan politik yang telah berkembang di Indonesia.
Kedua, menjadikannya sebagai rujukan dalam setiap bentuk moral enterpreneur dalam setiap gerakan civil society berdampingan secara harmonis dengan paham-paham humanisme lainnya.
Gagasan Tan Malaka pada tataran filosofis tak tergantikan meski pada tataran strategis perlu perdebatan lebih dalam, apalagi jika disandingkan dengan dinamika Indonesia modern saat ini. Namun, di atas semua itu, gagasan (bahkan ajaran) Tan Malaka harus tetap lestari dan berkontribusi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Keunggulan olah budi itu jangan hanya berakhir menjadi fosil sejarah di balik pigura dalam ruang hampa dan tidak tersentuh gerak peradaban, yang akhirnya hanya dipatut-patut oleh generasi penerus sepanjang zaman.
Setelah 57 tahun sejak kematiannya, setelah lebih dari setengah abad, misteri kematian Tan Malaka baru terungkap. Syahdan seorang bijak pernah berkata, ”revolusi memakan anak kandungnya sendiri”, maka Tan Malaka adalah anak kandung yang menjadi korban revolusi perjuangan. Ia menjadi korban meski seluruh hidup dan kehidupannya telah didedikasikan untuk negara merdeka 100 persen yang dicita-citakannya.
Mungkn nama Tan Malaka jarang diperhatikan selama ini. akan tetapi ketahuilah sosok tan malaka bukanlah sosok manusia yang kecil. Tampaknya ideologi telah menjadi alasan banyak orang untuk merdeka menghakimi, tanpa pernah peduli apa yang pernah dia beri. Alhasil, puluhan tahun, Tan Malaka nyaris tak kenal henti didudukkan dan dihakimi sebagai penjahat, sebagai komunis, sebagai PKI. Padahal Tan Malaka dapat dibilang sebagai tokoh sangat mengenal Islam, dan bahkan jauh mendalami Islam dibandingkan dengan Soekarno atau bahkan Mohammad Hatta. Terlebih dia pun telah belajar Islam dari kanak-kanak, dan kabarnya pernah mendalami tarikat hingga pernah menjadi guru agama di kampung asalnya, Limapuluh Koto, Sumatra Barat.
Tan Malaka adalah pribadi yang tak ingin terkungkung oleh satu ideologi, maka itu alih-alih mengikuti PKI, ia lebih memilih untuk menggagas Partai Musyawarah Rakyat Banyak alias Murba. Ia punya kemiripan dengan Soekarno yang cenderung berada di tengah, meski kemudian persepsi yang lebih terbangun di tengah publik dan turut dibesar-besarkan lawan politiknya; dia adalah seorang komunis yang tak bedanya dengan kalangan PKI umumnya.
Tudingan miring ke arahnya lantaran memang rekam jejaknya di dunia politik dan pergerakan tak lepas dari sosok Henk Sneevliet, seorang Belanda yang belakangan menjadi Bapak Komunis bagi kalangan kiri. Maklum Sneevliet sendiri adalah salah satu penggagas Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) yang pernah tercatat sebagai organisasi pergerakan yang terbilang paling berpengaruh di zamannya.
Terlepas dari semua kegemilangan maupun kontroversinya, gagasan Tan Malaka adalah pemikiran orisinal anak bangsa yang ditujukan untuk kemajuan peradaban bangsanya dan mendapat tempat yang mendunia. Keseluruhan gagasan Tan Malaka harus diapresiasi sebagai sebuah kesempurnaan olah budi sehingga harus dilestarikan dalam taman sari khazanah intelektual bangsa Indonesia.
Dalam konteks kekinian, ada dua pilihan moderat untuk melestarikan warisan Tan Malaka.
Pertama, memopulerkannya sebagai kajian akademik, khususnya di perguruan-perguruan tinggi. Gagasan Tan Malaka akan memperkaya ilmu sosial dan politik yang telah berkembang di Indonesia.
Kedua, menjadikannya sebagai rujukan dalam setiap bentuk moral enterpreneur dalam setiap gerakan civil society berdampingan secara harmonis dengan paham-paham humanisme lainnya.
Gagasan Tan Malaka pada tataran filosofis tak tergantikan meski pada tataran strategis perlu perdebatan lebih dalam, apalagi jika disandingkan dengan dinamika Indonesia modern saat ini. Namun, di atas semua itu, gagasan (bahkan ajaran) Tan Malaka harus tetap lestari dan berkontribusi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Keunggulan olah budi itu jangan hanya berakhir menjadi fosil sejarah di balik pigura dalam ruang hampa dan tidak tersentuh gerak peradaban, yang akhirnya hanya dipatut-patut oleh generasi penerus sepanjang zaman.
Setelah 57 tahun sejak kematiannya, setelah lebih dari setengah abad, misteri kematian Tan Malaka baru terungkap. Syahdan seorang bijak pernah berkata, ”revolusi memakan anak kandungnya sendiri”, maka Tan Malaka adalah anak kandung yang menjadi korban revolusi perjuangan. Ia menjadi korban meski seluruh hidup dan kehidupannya telah didedikasikan untuk negara merdeka 100 persen yang dicita-citakannya.