CARA MERIWAYATKAN HADIS
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hadist dapat didefinisikan sebagai segala
perbuatan, ucapan dan ketetapan yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw.
Penyandaran ini bisa dilakukan secara lafdzi – (dikutip kata perkata
sebagaimana Rasulullah mengucapkan pertama kali) dan maknawi ( dikutip hanya
menurut isinya saya sedang redaksinya telah berubah ). Adapun periwayatan
mengenai perbuatan dan ketetapan ( bisa berupa diamnya atau bahasa isyarat lain
dari Rasulullah yang mempunyai arti tertentu ), bisa dipastikan bersifat
maknawi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pada umumnya hadist – hadist
Nabi diriwayatkan secara maknawi. Pada makalah ini akan membahas tentang
penerimaan dan periwayatan hadist serta syarat – syarat menjadi periwayat
hadist.
Hadist – hadist Nabi tersebut diterima oleh
sahabat yang terdiri dari berbagai kalangan yang diantaranya adalah anak –
anak, orang kafir dan orang fasik yang masih dianggap sah penerimaannya oleh
jumhur hadist, melalui berbagai macam metode penerimaan yang diantaranya adalah
al-sima’, al-qira’ah dan sebagainya.Setelah itu diriwayatkan oleh ahli – ahli
hadist yang memenuhi syarat – syarat menjadi perawi hadist. Itu semua dibuat
hanya untuk meminimalisir terjadinya hadist – hadist palsu yang beredar hanya
untuk kepentingan Pribadi, politik dan sebaginya.
B. Rumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
1. Siapa saja yang dapat menerima periwayatan
hadist ?
2. Bagaimanakah cara penerimaan hadist ?
3. Apa saja syarat-syarat bagi periwayatan
hadist ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penerimaan Hadist
Para ulama ahli hadist mengistilahkan
menerima dan mendengar suatu periwayatan hadist dari seorang guru dengan
beberapa metode penerimaan hadist dengan istilah Tahammul.Para ulama hadis
berbeda pendapat mengenai penerimaan hadist terhadap anak yang belum sampai
umur (belum mukallaf), orang yang menerima hadist dalam keadaan kafir serta
dalam keadaan fasik. Jumhur muhaddistin berpendapat bahwa seorang yang menerima
hadist waktu masih kanak – kanak, atau masih dalam keadaan kafir atau dalam
keadaan fasik dapat diterima periwayatannya setelah masing – masing dewasa,
memeluk Islam dan bertobat.
Adapun alasannya anak yang belum dewasa
dapat dibenarkan menerima riwayat, ialah ijma’. Yakni seluruh umat Islam tidak
ada yang membantah dan tidak ada yang membeda – bedakan riwayat – riwayat para
sahabat yang diterima sebelum dan sesudah dewasa. Para sahabat yang menerima
hadist sebelum dewasa diantaranya Al-Hasan, Al-Husein, Ibnu ‘Abbas, Nu’man bin
Basyir dan lainnya. .
Tetapi mereka memperselisihkan masalah
batas minimal umur anak yang belum dewasa, yang dapat dibenarkan dalam
penerimaan riwayat. Beberapa pendapat diantaranya :
Al-Qadhi Iyad mengatakan bahwa batas
minimal adalah 5 tahun, sebab pada usia ini anak sudah mampu menghafal apa yang
dia ingat serta mengingat – ingat yang dihafal. Pendapat ini didasarkan pada
hadist riwayat Bukhari dari sahabat Mahmud bin Al-Rubai’
:عَقَلْتُ مِنَ
النَّبِي صلي الله عليه وسلم مَجَّةً مَجَّهَا فِي وجْهِي مِنْ دَلْوٍ و أنَاابْنُ
خَمْسِ سِنِيْنَ”
Saya ingat Nabi Saw. Meludah air yang diambilnya dari timba kemukaku, sedang pada saat itu aku berumur lima tahun”
Al-Hafidz Musa ibn Harun al-Hammal, yaitu
bahwa kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil dinilai absah bila ia
telah mampu membedakan antara sapi dengan himar. Saya merasa yakin bahwa yang
dimaksudkan adalah tamyiz. Beliau menjelaskan pengertian tamyiz dengan keadaan
sekitar.
Abu Abdullah Al-Zuba’i yang dikutip oleh
Mundzier Suparta mengatakan bahwa sebaiknya anak diperbolehkan menulis hadis
pada usia 10 tahun. Sebab pada usia ini akal mereka sudah dianggap sempurna
dalam arti bahwa mereka sudah mempunyai kemampuan untuk menghafal dan mengingat
hafalannya serta sudah beranjak dewasa.
Berbeda dengan pendapat ulama syam
memandang usia yang ideal bagi seorang untuk meriwayatkan hadist pada usia 30
tahun, dan ulama kufah berpendapat minimal berusia 20 tahun .
Sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan
ketamyizan seseorang diantaranya situasi dan kondisi yang berbeda. Oleh karena
itu ketamyizan seseorang bukan diukur dari usia tetapi didasarkan pada tingkat
kemampuan menangkap dan memahami pembicaraan dan mampu menjawab pertanyaan
dengan benar serta adanya kemampuan menghafal dan mengingat-ingat hafalannya.
Mengenai penerimaan hadist oleh orang kafir
jumhur ulama ahli hadist menganggap sah, asalkan hadis tersebut diriwayatkan
kepada orang lain pada saat mereka telah masuk Islam dan bertaubat. Dalil yang
digunakan oleh jumhur adalah hadist Jubair bin Muth’im yang artinya “Bahwa ia
mendengar Nabi Muhammad membaca surat At-Thur pada shalat maghrib”.
Jubair mendengar sabda Rasulullah saw.
tersebut pada saat tiba di Madinah untuk penyelesaian urusan tawanan perang
Badar, dalam keadaan kafir. Yang akhirnya ia memeluk Islam. Imam Ibnu Hajar
menerima riwayat orang fasik dengan dalil qiyas “babul-aula”. Artinya, kalau
penerimaan riwayat orang kafir yang disampaikan setelah memeluk agama Islam
dapat diterima, palagi penerimaan orang fasik yang disampaikan setelah ia
bertobat dan diakui sebagai orang yang adil, tentu lebih dapat diterima.
Kecuali riwayat orang gila yang
diriwayatkan setelah sehat tetap tidak dapat diterima, lantaran diwaktu ia
gila, hilanglah kesadarannya, hingga tidak lagi dikatakan sebagai orang yang
dhabith.
B. Cara Penerimaan Hadis
Para ulama ahli hadis menggolongkan metode
menerima suatu periwayatan hadis menjadi delapan macam :
1. Al-Sima’
Yakni suatu cara
penerimaan hadis dengan cara mendengarkan sendiri dari perkataan gurunya dengan
cara didekatkan baik dari hafalannya maupun dari tulisannya. Sehingga yang
menghadirinya mendengar apa yang disampaikannya tersebut. Menurut jumhur ahli
hadis bahwa cara ini merupakan cara penerimaan hadis yang paling tinggi
tingkatannya. Sehingga mereka ada yang mengatakan bahwa al-sama’ yang dibarengi
dengan al-kitabah mempunyai nilai lebih tinggi dan paling kuat. Karena terjamin
kebenarannya dan terhindar dari kesalahan dibanding dengan cara-cara lainnya,
disamping para sahabat juga menerima hadis dari Nabi SAW dengan cara seperti
ini.
Termasuk dalam kategori
sama’ juga seseorang yang mendengarkan hadis dari syeikh dari balik sattar
(semacam kain pembatas/penghalang). Jumhur ulama membolehkannya dengan berdasar
pada para sahabat yang juga pernah melakuhkan hal demikian ketika meriwayatkan
hadis hadis Rasulullah melalui ummahat al mu’minin (para istri nabi).
Menurut Al-Qadhi ‘Iyad,
para ulama tidak memperselisihkan kebolehan rawi dalam meriwayatkannya
menggunakan kata – kata:
حَدَّثَنَا (seorang telah menceritakan kepada kami)
أَخْبَرَنَا (seorang telah mengabarkan kepada kami)
أَنْبَأَنَا (seorang telah memberitakan kepada kami)
سَمِعْتُ فُلاَنًا (saya telah mendengar seseorang)
قَالَ لَنَا فُلاَنٌ (seseorang telah berkata kepada kami)
ذَكَرَ لَنَا فُلاَنٌ (seseorang telah menuturkan kepada kami)
حَدَّثَنَا (seorang telah menceritakan kepada kami)
أَخْبَرَنَا (seorang telah mengabarkan kepada kami)
أَنْبَأَنَا (seorang telah memberitakan kepada kami)
سَمِعْتُ فُلاَنًا (saya telah mendengar seseorang)
قَالَ لَنَا فُلاَنٌ (seseorang telah berkata kepada kami)
ذَكَرَ لَنَا فُلاَنٌ (seseorang telah menuturkan kepada kami)
2. Al-Qari’ah ‘Ala Al-Syaikh atau ‘Aradh
Al-Qira’ah
Yakni suatu cara
penerimaan hadis dengan cara seseorang membacakan hadis dihadapan gurunya, baik
dia sendiri yang membacakannya maupun orang lain, sedang sang guru mendengarkan
atau menyimaknya, baik sang guru hafal maupun tidak tetapi dia memegang
kitabnya atau mengetahui tulisannya atau dia tergolong tsiqqah.
Ajjaj Al-Khatib dengan
mengutib pendapat Imam Ahmad mensyaratkan orang yang membaca (qari) itu
mengetahui dan memahami apa yang dibaca. Sementara syarat bagi Syeikh dengan
mengutip pendapat Imam Haramain hendaknya yang ahli dan teliti ketika mendengar
atau menyimak dari apa yang dibacakan oleh qari’, sehingga tahrif maupun tashif
dapat terhindrkan. Jika tidak demikian maka proses tahammul tidak sah.
Para ulama sepakat
bahwa cara seperti ini dianggap sah, namun mereka berbeda pendapat mengenai
derajat al-qira’ah. Diantara mereka, seperti Al-Lias bin Sa’ad, Syu’aban, Ibnu
Juraih, Sufyan Al-Tsauri, Abu Hanifah, Menganggap bahwa al-qari’ah lebih baik
jika dibanding al-sama’, sebab dalam al-sama’ bila bacaan guru salah, murid
tidak leluasa menolak kesalahan, tetapi dalam al-qari’ah bila bacaan murid salh
guru segera membenarkannya. Imam Malik, Bukhari, sebagian besar ulama Hijaz dan
Kufah menganggap bahwa antara al-qira’ah dengan al-sama’ mempunyai derajat yang
sama. Ibnu Abbas mengatakan (kepada muridnya) “Bacakanlah kepadaku, sebab
bacaan kalian kepadaku seperti bacaanku kepada kalian”. Sementara Ibnu
Al-Shalah, Imam Nawawi dan Jumhur ulama memandang bahwa al-sama’ lebih tinggi
derajatnya dibanding dengan cara al-qira’ah.
3. Al-Ijazah
Yakni seorang guru
memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis atau kitab kepada
seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun murid tidak membacakan kepada
gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya, seperti;ا
جز ت لك ا ن تر و ي عنى(saya
mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku)
Para ulama berbeda
pendapat mengenai penggunaan ijazah ini sebagai cara untuk meriwayatkan hadis.
Ibnu Hazm mengatakan bahwa cara meriwayatkan hadis dengan menggunakan ijazah
ini dianggap bid’ah dan tidak diperbolehkan dan bahkan ada sebagian ulama yang
menambahkan bahwa ijazah ini benar-benar diingkari.
Sedangkan ulama yang
memperbolehkan cara ijazah ini menetapkan syarat hendaknya sang guru
benar-benar mengerti tentang apa yang diijazahkan dan naskah muridnya menyamai
dengan yang lain, sehingga seolah-olah naskah tersebut adalah aslinya serta
hendaknya guru yang memberi ijazah itu benar-benar ahli ilmu.
Al- Qadhi ‘iyad membagi
Ijazah menjadi enam macam, sedang Ibnu Al-Sahalah menambah satu macam lagi,
sehingga menjadi tujuh macam. Ketujuh macam al-ijazah tersebut sebagai berikut:
Pertama, seseorang guru
mengijazahkan kepada seseorang tertentu atau kepada beberapa orang tertentu
sebuah kitab, atau beberapa kitab yang dia sebutkan kepada mereka. Al-ijazah
seperti ini diperbolehkan menurut jumhur.Kedua, bentuk ijazah kepada orang
tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu, seperti “saya
ijazahkan kepadamu sesuatu yang saya riwayatkan untuk kamu riwayatkan dariku”.
Cara seperti ini menurut jumhur juga tergolong yang diperbolehkan.Ketiga,
bentuk al-ijazah secara umum seperti ungkapan “saya ijazahkan kepada kaum
Muslimin atau kepada orang-orang yang ada (hadir)”.Keempat, bentuk al-ijazah
kepada orang yang tidak tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak
tertentu. Cara seperti ini dianggap fasid (rusak).Kelima, bentuk al-ijazah
kepada orang yang tidak ada, seperti mengijazahkan kepada bayi yang masih dalam
kandungan. Bentuk ijazah seperti ini tidak sah.Keenam, bentuk al-ijazah
mengenai sesuatu yang belumdiperdengarkan atau dibacakan kepada penerima
ijazah, seperti ungkapan ”saya ijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dari
sesuatu yang akan kudengarnya”. Cara seperti ini dianggap batal.Ketujuh, bentuk
al-ijazah al-mujaz, seperti perkataan guru “saya ijazahkan kepada kamu
ijazahku”. Bentuk ini termasuk yang diperbolehkan.
4. Al-Munawalah
Yakni seorang guru
memberikan hadis atau beberapa hadis atau sebuah kitab kepada muridnya untuk
diriwayatkan. Ada juga yang mengatakan, bahwa al-munawalah ialah seorang guru
memberi keda seorang murid, kitab asli yang didengar dari gurunya, atau sesuatu
naskah yang sudah dicocokkan, sambil berkata “inilah hadis-hadis yang sudah saya
dengar dari seseorang, maka riwayatkanlah hadis itu dariku dan saya ijazahkan
kepadamu untuk diriwayatkan”.
Al-Munawalah itu
mempunyai dua bentuk, yakni: Pertama, al-munawalah dibarengi dengan ijazah.
Misalnya setelah sang guru menyerahkan kitabnya yang telah dia riwayatkan atau
naskahnya telah dicocokkan, lalu dia katakan kepada muridnya “ini riwayat saya,
maka riwayatkanlah dariku”, kemudian menyerahkan dan sang murid menerima sambil
sang guru berkata “saya ijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku”. Cara
seperti ini menurut Al-Qadhi ‘Iyad termasuk periwayatan yang dianggap sah oleh
para ulama ahli hadis.
Hadis berdasar atas
munawalah bersama ijazah biasanya menggunakan redaksi :ا نبا نا ا نبا نى (seseorang
telah memberitahukan kepadaku/kami)
Kedua, al-munawalah tanpa dibarengi dengan ijazah, seperti perkataan guru kepada muridnya “ini hadis saya” atau “ini adalah hasil pendengaranku atau periwayatanku” dan tidak mengatakan “riwayatkanlah dariku atau saya ijazahkan kepadamu”. Menurut kebanyakan ulama al-munawalah dalam bentuk ini tidak diperbolehkan. Hadis yang diriwayatkan berdasarkan munawalah tanpa dibarengi ijazah ini biasanya menggunakan redaksi :ا نبا نا ا نبا نى (seseorang telah memberitahukan kepadaku/kami)
Kedua, al-munawalah tanpa dibarengi dengan ijazah, seperti perkataan guru kepada muridnya “ini hadis saya” atau “ini adalah hasil pendengaranku atau periwayatanku” dan tidak mengatakan “riwayatkanlah dariku atau saya ijazahkan kepadamu”. Menurut kebanyakan ulama al-munawalah dalam bentuk ini tidak diperbolehkan. Hadis yang diriwayatkan berdasarkan munawalah tanpa dibarengi ijazah ini biasanya menggunakan redaksi :ا نبا نا ا نبا نى (seseorang telah memberitahukan kepadaku/kami)
5. Al-Mukatabah
Yakni seorang guru
menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain untuk menuliskan sebagian hadisnya
guna diberikan kepada murid yang ada dihadapannya atau yang tidak hadir dengan
jalan dikirimi surat melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikannya.
Al-Mukatabah ada dua
macam, yakni: Pertama, al-muktabah yang dibarengi dengan ijazah, yaitu sewaktu
sang guru menuliskan beberapa hadis untuk diberikan kepada muridnya disertai
dengan kata-kata “ini adalah hasil periwayatanku, maka riwayatkanlah” atau
“saya ijazah (izin)-kan kepadamu untuk kamu riwayatkan kepada orang lain”.
Kedudukan al-muktabah dalam bentuk ini sama halnya dengan al-munawalah yang
dibarengi dengan ijazah, yakni dapat diterima.
Kedua, al-muktabah yang
tidak dibarengi dengan ijazah yakni guru menuliskan hadis untuk diberikan
kepada muridnya dengan tanpa disertai perintah untuk meriwayatkan atau
mengijazahkan. Al-muktabah dalam bentuk ini diperselisihkan oleh para ulama.
Ayub, Mansur, Al-Lais, tidak sedikit dari ulama Syafi’iyah dan ulama usul menganggap
sah periwayatan dengan cara ini. Sedangkan Al-Mawardi menganggap tidak sah.
6. Al-I’lam
Yakni pemberitahuan
seorang guru kepada muridnya, bahwa kitab atau hadis yang diriwayatkannya dia
terima dari seseorang (guru), dengan tanpa memberi izin kepada muridnya untuk
meriwayatkannya atau menyuruhnya.
Sebagian ulama ahli
ushul dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu Al-Shalah menetapkan tidak sah
periwayatan hadis dengan cara ini. Karena dimungkinkan bahwa sang guru sudah
mengetahui ada atau sedikit banyak cacatnya.
Sedangkan kebanyakan
ulama ahli hadis, ahli fiqih, dan ahli ushul memperbolehkannya.
7. Al-Wasiyah
Yakni seorang guru,
ketika akan meninggal atau bepergian meninggalkan pesan kepada orang lain untuk
meriwayatkan hadis atau kitabnya, setelah sang guru meninggal atau bepergian.
Periwayatan hadis dengan cara ini oleh jumhur dianggap lemah. Sementara Ibnu
Sirin membolehkan mengamalkan hadis yang diriwayatkan atas jalan wasiat ini.
Orang yang diberi wasiat ini tidak boleh meriwayatkan hadis dari si pemberi
wasiat dengan redaksiحد تنى فلا ن بكذ ا (seseorang telah memberitahukan kepadaku
begini), karena si penerima wasiat tidak bertemu dengannya.
8. Al-Wijadah
Yakni seseorang
memperoleh hadis orang lain dengan mempelajari kitab-kitab hadis dengan tidak
melalui cara al-sama’, al-ijazah atau al-munawalah. Para ulama berselisih
pendapat mengenai cara ini. Kebanyakan ahli hadis dan ahli fiqih dari mazhab
Malikiyah tidak memperbolehkan meriwayatkan hadis dengan cara ini. Imam Syafi’i
dan segolongan pengikutnya memperbolehkan beramal dengan hadis yang
periwayatannya melalui cara ini. Ibnu Al-Shalah mengatakan, bahwa sebagian
ulama Muhaqqiqin mewajibkan mengamalkannya bila diyakini kebenarannya.
C. Periwayatan Hadis
Sebagaimana telah disebutkan, bahwa al-‘ada
ialah menyampaikan atau meriwayatkan hadis kepada orang lain. Oleh karenanya,
ia mempunyai peranan penting dan sudah barang tentu menurut pertanggungjawaban
yang cukup berat, sebab sah atau tidaknya suatu hadis juga sangat tergantung
padanya. Mengingat hal-hal seperti ini, jumhur ahli haditsm ahli ushul dan ahli
fiqih menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadis, yakni sebagai berikut:
1. Islam
Pada waktu meriwayatkan
suatu hadis, maka seseorang perawi harus muslim, dan menurut Ijma, priwayatan
kafir tidak sah. Seandainya perawinya seorang fasik saja kita disuruh
bertasawuf, maka lebih-lebih perawi yang kafir. Kaitannya dengan masalah ini
bisa kita bandingkan dengan firman Allah sebagai berikut:
Artinya ”Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu orang-orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan sesuatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan sehingga kamu akan menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS. Al-Hujurat (49):6)
Artinya ”Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu orang-orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan sesuatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan sehingga kamu akan menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS. Al-Hujurat (49):6)
2. Baligh
Yang dimaksud baligh ialah
perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadis, walau penerimanya sebelum
baligh. Hal ini didasarkan pada hadis rosul:
ر فح ا لقلم عن ثلا ثة عن ا لمجنو ن المخلو ب على عقله حتى يفيق و عن النا ءم حتى يستيقظ و عن الصبي حتى يحتلم (رواه ابو داود)
Artinya” Hilang kewajiban menjalankan syari’at Islam dari tiga golongan, yaitu orang gila, sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai bangun dan anak-anak sampai ia mimpi”. (HR. Abu Daud dan Nasai).
ر فح ا لقلم عن ثلا ثة عن ا لمجنو ن المخلو ب على عقله حتى يفيق و عن النا ءم حتى يستيقظ و عن الصبي حتى يحتلم (رواه ابو داود)
Artinya” Hilang kewajiban menjalankan syari’at Islam dari tiga golongan, yaitu orang gila, sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai bangun dan anak-anak sampai ia mimpi”. (HR. Abu Daud dan Nasai).
3. ‘Adalah
Yang dimaksud dengan
adil adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang
yang mempunyai sifat tersebut, tetap taqwa, menjaga kepribadian dan percaya
pada diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan
sebagian dosa kecil, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah, tetapi
tergolong kurang baik dan selalu menjaga kepribadian.
4. Dhabit
Dhabit ialah teringat
kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadis yang ia dengar dan
hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikannya.
Jalannya mengetahui
ke-dhabitan perawi dengan jalan i’tibar terhadap berita-beritanya dengan
berita-berita yang tsiqat dan memberikan keyakinan.Ada yang mengatakan, bahwa
di samping syarat-syarat sebagaimana disebutkan diatas, antara satu perawi
dengan perawi lain haris bersambungm hadis yang disampaikan itu tidak syadz,
tidak ganjil dan tidak bertentangan dengan hadis-hadis yang lebih kuat
ayat-ayat Al-Quran.
Dari uraian diatas
dapatlah ditarik kesimpulan bahwa al-thammul dan al-ada’ merupakan masalah yang
cukup berat, baik berkaitan dengan cara bertahammul maupun syarat-syarat yang
harus dipenuhi dalam al-ada’.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mengenai penerimaan
hadist pada anak-anak serta orang kafir dan orang fasik adalah sah, sebab semua
orang dapat menerima hadist asalkan pada waktu meriwayatkannya memenuhi syarat
– syarat periwayatan hadist. Kecuali orang gila yang tidak dapat menerima
hadist, sebab ketika orang gila tersebut sudah waras (sadar) dia tidak dapat
mengingat apa yang terjadi ketika dia dalam keadaan gila. Banyak perbedaan
mengenai batas minimal usia seseorang dapat menerima hadist dikalangan ulama’
hadist, tapi penulis berpendapat bahwa seseorang dapat menerima hadist ketika
dia sudah tamyiz (dewasa). Sedangkan penerimaan hadist dengan cara sama’ adalah
penerimaan hadist dengan melalui pendengaran baik itu melihat orang yang
menyampaikan ataupun tidak melihatnya. Tetapi kalau tidak melihatnya, sang
murid (yang mendengar) haruslah yakin bahwa suara itu adalah suara sang guru.
Kalau tidak disertai keyakinan, maka penerimaan hadist dengan cara sama’ ini
tidak dapat diterima.
Dari makalah yang telah
kami tulis diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa penerimaan dan periwayatan
hadist :
1. Penerimaan hadist kepada anak-anak, orang
kafir dan orang fasik adalah sah.
2. Tahammul adalah penerimaan hadist sedang
al-ada’ adalah menyampaikan (meriwayatkan) hadist.
3. Seorang perawi (periwayat hadist) harus
memenuhi syarat antara lain dia harus beragama Islam, Baligh, Adil serta
dhabit.
DAFTAR PUSTAKA
Suparta, Mundzier. Ilmu Hadist, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2003.
Fatchur Rahman. Mustholahul Hadist. Yogyakarta: PT. Al-Ma’ary. 1970.
‘Ajaj, M, Khathib. Ushul Al-Hadits Jakarta: Gaya Media Pratama. 1998.
Abi Abdullah, al-Imam hakim. Ma’rifatu ‘Ulum Al-Hadist. Maktabah
al-mutanabbi.
Post a Comment for "CARA MERIWAYATKAN HADIS"