SEJARAH PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM “TOKOH PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM” (K. H. HASYIM ASY’ARI)
BAB I
PENDAHULUAN
Sejak pertengahan abad ke-19, telah banyak para kawula muda Indonesia
yang belajar di Mekkah dan Madinah, untuk menekuni agama Islam. Di pusat-pusat
studi di Timur Tengah, terutama di Mekkah, banyak bertebaran berbagai literatur
ke-Islaman. Realitas ini amat memungkinkan bagi mereka yang belajar di sana, untuk mencapai
tingkat pengetahuan yang lebih luas serta pandangan yang lebih terbuka mengenai
sosok Islam.
Di antara mereka yang berhasil gemilang di dalam mengkaji Islam adalah Syekh Nawawi al Bantani dari Banten Jawa
Barat, Syekh Mahfudz Attarmisi dari
Pacitan Jawa Timur, serta Syekh Ahmad
Chatib Sambas dari Kalimantan. Kesuksesan mereka ini ditandai dengan
kedalaman ilmu yang mereka miliki, yang bukan saja diakui oleh masyarakat Tanah
Suci Mekkah melainkan juga diakui oleh masyarakat Arab pada umumnya.
Generasi berikutnya yang juga merupakan murid langsung dari mereka itu
antara lain. Muhammad Hasyim Asy’ari.
Hasyim Asy’ari yang haus akan ilmu pengetahuan, belajar dari pesantren ke pesantren
di daerah Jawa, dan terus belajar ke Mekkah kurang lebih 7 tahun. Zamakhsyari
Dhofier melukiskan pribadi Hasyim Asy’ari sebagai seorang yang memiliki
kedalaman ilmu secara luar biasa, sehingga para kiai di Jawa lebih suka
menyebutnya Hadratus Syekh yang berarti “Tuan
Guru Besar” melalui tangan Hadratus Syekh inilah lahir ulama-ulama
terkemuka di Jawa yang nyaris seluruhnya menjadi pendiri dan pengasuh pesantren
di daerahnya masing-masing.
Hasyim Asy’ari adalah seorang kiai yang pemikiran dan sepak terjangnya
berpengaruh dari Aceh sampai Maluku, bahkan sampai ke Melayu. Santri-santri ada
yang dari Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera dan Aceh, bahkan ada beberapa
orang dari Kuala Lumpur.
Beliau terkenal orang yang alim dan adil, selalu mencari kebenaran, baik
kebenaran dunia maupun kebenaran akhirat. Semasa hidupnya beliau diberi
kedudukan sebagai Rais Akbar NU, suatu jabatan yang hanya diberikan kepada
Hasyim Asy’ari satu-satunya. Bagi ulama lain yang menjabat jabatan tersebut,
tidak lagi menyandang sebutan Rais Akbar melainkan Rais Am. Hal ini karena
ulama lain yang menggantikannya merasa lebih rendah dibandingkan Hasyim
Asy’ari.
Pemikiran Hasyim Asy’ari dalam bidang Pendidikan lebih banyak ditinjau
dari segi etika dalam pendidikan. Etika dalam pendidikan banyak diungkapkan
oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin pada Bagian adab kesopanan pelajar
dan pengajar. Dalam dunia pendidikan sekarang, banyak disinggung dalam
kaitannya dengan prinsip-prinsip pelaksanaan pendidikan. dan para ahli psikologi
pendidikan, menyinggungnya dalam kepribadian yang efektif bagi pelajar dan
mengajar.
Di antara adab pelajar menurut Al-Ghazali adalah : mendahulukan kesucian batin dari kerendahan budi dan sifat-sifat
tercela, jangan menyombongkan diri dan jangan menentang guru, memulai belajar
dalam bidang ilmu yang lebih penting, dan menghiasi diri dengan sifat-sifat
utama. Sedangkan di antara adab seorang pengajar adalah : memulai pelajaran dengan basmalah, mempunyai
rasa belas-kasihan kepada murid-murid dan memperlakukannya sebagai anak
sendiri, mengikuti jejak Rasul, mengajar bukan untuk mencari upah tetapi
semata-mata karena ibadah pada Allah, mengamalkan sepanjang ilmunya, jangan
perkataannya membohongi perbuatannya.
Pemikiran Hasyim Asy’ari sendiri dalam hal ini boleh jadi diwarnai dengan
keahliannya dalam bidang hadits, dan pemikirannya dalam bidang tasawuf dan
fiqh. Serta didorong pula oleh situasi pendidikan yang ada pada saat itu, yang
mulai mengalami perubahan dan perkembangan yang pesat, dari kebiasaan lama (tradisonal)
yang sudah mapan ke dalam bentuk baru (modern) akibat pengaruh sistem
pendidikan Barat (Imperialis Belanda) yang diterapkan di Indonesia.
BAB II
RIWAYAT HIDUP K.H HASYIM ASY’ARI
Hasyim Asy’ari lahir di desa Gedang sekitar dua kilometer sebelah Timur
Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Pada hari Selasa kliwon, tanggal 24 Dzulhijjah
1287 atau bertepatan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim ibn Asy’ari ibn Abd. Al
Wahid ibn Abd. Al Halim yang mempunyai gelar Pangeran Bona ibn Abd. Al Rahman Ibn Abd. Al Aziz Abd. Al Fatah ibn
Maulana Ushak dari Raden Ain al Yaqin yang disebut dengan Sunan Giri.
Dipercaya pula bahwa mereka adalah keturunan raja Muslim Jawa, Jaka Tinggir dan
raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI. Jadi Hasyim Asy’ari juga dipercaya
keturunan dari keluarga bangsawan.
Ibunya, Halimah adalah putri
dari kiai Ustman, guru Asy’ari sewaktu mondok di pesantren. Jadi, ayah Hasyim
adalah santri pandai yang mondok di kiai Ustman, hingga akhirnya karena
kepandaian dan akhlak luhur yang dimiliki, ia diambil menjadi menantu dan
dinikahkan dengan Halimah. Sementara kiai Ustman sendiri adalah kiai terkenal
dan juga pendiri pesantren Gedang yang didirikannya pada akhir abad ke-19.
Hasyim Asy’ari adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara, yaitu Nafiah, Ahmad
Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi, dan Adnan.
Dari lingkungan pesantren inilah Hasyim Asy’ari mendapat didikan awal
tentang berbagai hal yang berkaitan dengan ke-Islaman. Hingga usia lima tahun, Hasyim
mendapat tempaan dan asuhan orangtua dan kakeknya di pesantren Gedang.
Mula-mula ia belajar pada ayahnya sendiri, lalu bergabung bersama santri lain
untuk memperdalam ilmu agama dan pesantren itu para santri mengamalkan ajaran
agama dan belajar berbagai cabang ilmu agama Islam.
Suasana ini tidak diragukan lagi mempengaruhi karakter Hasyim Asy’ari
yang sederhana dan rajin belajar. Minat bacanya sangat tinggi, hingga yang
dibaca bukan hanya buku-buku pelajaran dengan literatur-leteratur Islam, tetapi
juga buku-buku lain dan umum.
Pada tahun 1876, ketika Hasyim Asy’ari berumur 6 tahun, ayahnya
mendirikan pesantren di sebelah Selatan Jombang, suatu pengalaman yang di masa
mendatang mempengaruhi beliau untuk kemudian mendirikan pesantren sendiri. Dari
sini dapat dilihat bahwa kehidupan masa kecilnya di lingkungan pesantren
berperan besar dalam pembentukan wataknya yang haus ilmu pengetahuan dan
kepeduliannya pada pelaksanaan ajaran-ajaran agama dengan baik.
Menurut penuturan ibunya, tanda kecerdasan dan ketokohan Hasyim Asy’ari
sudah tampak saat ia masih berada dalam kandungan. Di samping masa kandung yang
lebih lama dari umumnya kandungan, ibunya juga pernah bermimpi melihat bulan
jatuh dari langit ke dalam kandungannya. Mimpi tersebut kiranya bukanlah isapan
jempol dan kembang tidur belaka, sebab ternyata tercatat dalam sejarah, bahwa
pada usianya yang masih sangat muda, 13 tahun, Hasyim Asy’ari sudah berani
menjadi guru pengganti (badal) di pesantren untuk mengajar santri-santri yang
tidak jarang lebih tua dari umurnya sendiri. Serta di kemudian hari kita
saksikan sepak terjang dan perjuangannya di berbagai bidang.
Pada usia muda Hasyim Asy’ari mulai melakukan pengembaraan ke berbagai
pesantren di luar daerah Jombang. Pada awalnya, ia menjadi santri di pesantren
Wonokojo di Probolinggo, kemudian berpindah ke pesantren Langitan, Tuban. Dari
Langitan santri yang cerdas tersebut berpindah lagi ke pesantren Trenggilis,
hingga pesantren Kademangan Bangkalan, di Madura sebuah pesantren yang diasuh
kyai Khalil. Terakhir sebelum belajar ke Mekkah, ia sempat nyantri dan tinggal
lama di pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, di bawah asuhan kiai Ya’qub, sampai
akhirnya diambil menantu oleh kiai Ya’qub, dinikahkan dengan anaknya yang
bernama Khadijah tahun 1892.
Tidak berapa lama kemudian ia beserta isteri dan mertuanya berangkat haji
ke Mekkah yang dilanjutkan dengan belajar di sana. Modal pengetahuan agama selama nyantri
di tanah air memudahkan Hasyim memahami pelajaran selama di Mekkah. Akan tetapi
setelah isterinya meninggal karena melahirkan, menyebabkannya kembali ke tanah
air.
Rasa haus yang tinggi akan ilmu pengetahuan membawa Hasyim Asy’ari
berangkat lagi ke tanah suci Mekkah tahun berikutnya. Kali ini ia ditemani
saudaranya Anis. Dan ia menetap di sana kurang lebih tujuh tahun dan berguru
pada sejumlah ulama, di antaranya Syaikh Ahmad Amin al Aththar, Sayyid Sultan
ibn Hasyim, Sayyid Abdullah al Zawawi, Syaikh Shaleh Bafadhal dan Syaikh Sultan
Hasyim Dagastani.
Minatnya begitu tinggi terhadap ilmu pengetahuan, terutama ilmu hadits
dan tasawuf. Hal ini yang membuat Hasyim di kemudian hari senang mengajarkan
hadits dan tasawuf. Pada masa-masa akhir di Mekkah beliau sempat memberikan
pengajaran kepada orang lain yang memerlukan bimbingannya, dan ini yang menjadi
bekal tersendri yang kemudian hari diteruskan setelah kembali ke tanah air.
Pada tahun 1899/1900 ia kembali ke Indonesia dan mengajar di pesantren
ayahnya dan kakeknya, hingga berlangsung beberapa waktu. Masa berikutnya Hasyim
menikah lagi dengan putri kiai Ramli dari Kemuning (Kediri) yang bernama Nafiah, setelah sekian
lama menduda. Mulai itu beliau diminta membantu mengajar di pesantren mertuanya
di Kemuning, baru kemudian mendirikan pesantren sendiri di daerah sekitar
Cukir, pesantren Tebuireng di Jombang, pada tanggal 6 Pebruari 1906. Pesantren
yang baru didirikan tersebut tidak berapa lama berkembang menjadi pesantren
yang terkenal di Nusantara, dan menjadi tempat menggodok kader-kader ulama
wilayah Jawa dan sekitarnya.
Sejak masih di pondok, ia telah dipercaya untuk membimbing dan mengajar
santri baru. Ketika di Mekkah,
ia juga sempat mengajar. Demikian
pula ketika kembali ke tanah air, diabdikannya seluruh hidupnya untuk agama dan
ilmu. Kehidupannya banyak tersita untuk para santrinya. Ia terkenal dengan
disiplin waktu (istiqamah).
Di samping bergerak dalam dunia pendidikan, Hasyim Asy’ari menjadi
perintis dan pendiri organisasi kemasyarakatan NU (Nahdhatul Ulama), sekaligus sebagai Rais Akbar. Pada bagian
lain, ia juga bersikap konfrontatif terhadap penjajah Belanda. Ia, misalnya
menolak menerima penghargaan dari pemerintah Belanda. Bahkan pada saat revolusi
fisik, ia menyerukan jihad melawan penjajah dan menolak bekerja sama dengannya.
Sementara pada masa penjajahan Jepang, ia sempat ditahan dan diasingkan ke Mojokerta.
Hasyim Asy’ari meninggal pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H bertepatan dengan
25 Juli 1947 M di Tebuireng Jombang dalam usia 79 tahun, karena tekanan darah
tinggi. Hal ini terjadi setelah beliau mendengar berita dari Jenderal Sudirman
dan Bung Tomo bahwa pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Spoor telah
kembali ke Indonesia dan menang dalam pertempuran di Singosari (Malang) dengan
meminta banyak korban dari rakyat biasa. Beliau sangat terkejut dengan
peristiwa itu, sehingga terkena serangan stroke yang menyebabkan kematiannya.
BAB III
PEMIKIRAN K.H HASYIM ASY’ARI DALAM BIDANG
PENDIDIKAN
Hasyim Asy’ari yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren,
serta banyak menuntut ilmu dan berkecimpung secara langsung di dalamnya, di
lingkungan pendidikan agama Islam khususnya. Dan semua yang dialami dan
dirasakan beliau selama itu menjadi pengalaman dan mempengaruhi pola pikir dan
pandangannya dalam masalah-masalah pendidikan.
Salah satu karya monumental Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang pendidikan
adalah kitabnya yang berjudul Adab al
Alim wa al Muta’allim fima Yahtaj ilah al Muta’alim fi Ahuwal Ta’allum wama
Yataqaff al Mu’allim fi Maqamat Ta’limih, namun dalam penulisan ini kami
tidak menemukakan kitab aslinya dan akhirnya banyak mengambil dari tulisan
Samsul Nizar dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, dan buku-buku yang lain
sebagai penunjang.
Pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih beliau tekankan pada masalah
etika dalam pendidikan, meski tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya.
Di antara pemikiran beliau dalam masalah pendidikan adalah:
a. Signifikansi Pendidikan
Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar
ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat
kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu :
pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan
sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau
menyepelikannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan
niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran
beliau tentang hal tersebut di atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah
sufisme (tasawuf), yaitu salah satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti
jalan sufi menurut beliau adalah “niat yang baik dan lurus”.
Belajar menurut Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha
Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan
akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan
nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan.
Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju
kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu
mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam
kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan
jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan
nilai dan norma-norma Islam.
b. Tugas dan Tanggung Jawab Murid
1). Etika yang
harus diperhatikan dalam belajar
- Membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniaan
- Membersihkan niat, tidak menunda-nunda kesempatan belajar, bersabar dan
qanaah
- Pandai mengatur waktu
- Menyederhanakan makan dan minum
- Berhati-hati (wara’)
- Menghindari kemalasan
- Menyedikitkan waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan
- Meninggalkan hal-hal yang kurang berfaedah.
Dalam hal ini terlihat, bahwa Hasyim Asy’ari lebih menekankan kepada
pendidikan ruhani atau pendidikan jiwa, meski demikian pendidikan jasmani tetap
diperhatikan, khususnya bagaimana mengatur makan, minum, tidur dan sebagainya.
Makan dan minum tidak perlu terlalu banyak dan sederhana, seperti anjuran Rasulullah
Muhammad saw. Serta jangan banyak tidur, dan jangan suka bermalas-malasan.
Banyakkan waktu untuk belajar dan menuntut ilmu pengetahuan, isi hari-hari dan
waktu yang ada dengan hal-hal yang bermanfaat.
2). Etika
seorang murid terhadap guru
- Hendaknya selalu memperhatikan dan mendengarkan guru
- Memilih guru yang wara’
- Mengikuti jejak guru
- Memuliakan dan memperhatikan hak guru
- Bersabar terdapat kekerasan guru
- Berkunjung pada guru pada tempatnya dan minta izin lebih dulu
- Duduk dengan rapi bila berhadapan dengan guru
- Berbicara dengan sopan dan lembut dengan guru
- Dengarkan segala fatwa guru dan jangan menyela pembicaraannya
- Gunakan anggota kanan bila menyerahkan sesuatu pada guru.
Etika seperti tersebut di atas, masih banyak dijumpai pada pendidikan
pesantren sekarang ini, akan tetapi etika seperti itu sangat langka di tengah
budaya kosmopolit. Di tengah-tengah pergaulan sekarang, guru dipandang sebagai
teman biasa oleh murid-murid, dan tidak malu-malu mereka berbicara lebih
nyaring dari gurunya. Terlihat pula pemikiran yang ditawarkan oleh Hasyim
Asy’ari lebih maju. Hal ini, misalnya terlihat dalam memilih guru hendaknya
yang profesional, memperhatikan hak-hak guru, dan sebagainya.
3). Etika murid
terhadap pelajaran
- Memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu ‘ain
- Berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama
- Mendiskusikan dan menyetorkan hasil belajar pada orang yang dipercaya
- Senantiasa menganalisa dan menyimak ilmu
- Bila terdapat hal-hal yang belum dipahami hendaknya ditanyakan
- Pancangkan cita-cita yang tinggi
- Kemanapun pergi dan dimanapun berada jangan lupa membawa catatan
- Pelajari pelajaran yang telah dipelajari dengan continue (istiqamah)
- Tanamkan rasa antusias dalam belajar.
Penjelasan tersebut di atas seakan memperlihatkan akan sistem pendidikan
di pesantren yang selama ini terlihat kolot, hanya terjadi komunikasi satu
arah, guru satu-satunya sumber pengajaran, dan murid hanya sebagai obyek yang
hanya berhak duduk, dengar, catat dan hafal (DDCH) apa yang dikatakan guru.
Namun pemikiran yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari lebih terbuka, inovatif dan
progresif. Beliau memberikan kesempatan para santri untuk mengambil dan
mengikuti pendapat para ulama, tapi harus hati-hati dalam menanggapi ikhtilaf
para ulama.
Hal tersebut senada dengan pemikiran beliau tentang masalah fiqh, beliau
meminta umat Islam untuk berhati-hati pada mereka yang mengklaim mampu
menjalankan ijtihad, yaitu kaum modernis, yang mengemukakan pendapat mereka
tanpa memiliki persayaratan yang cukup untuk berijtihad itu hanya berdasarkan
pertimbangan pikiran semata. Beliau percaya taqlid itu diperbolehkan bagi
sebagian umat Islam, dan tidak boleh hanya ditujukan pada mereka yang mampu
melakukan ijtihad.
c. Tugas Dan Tanggung Jawab Guru
1). Etika
seorang guru
- Senantiasa mendekatkan diri pada Allah
- Takut pada Allah, tawadhu’, zuhud dan khusu’
- Bersikap tenang dan senantiasa berhati-hati
- Mengadukan segala persoalan pada Allah
- Tidak menggunakan ilmunya untuk meraih dunia
- Tidak selalu memanjakan anak
- Menghindari tempat-tempat yang kotor dan maksiat
- Mengamalkan sunnah Nabi
- Mengistiqamahkan membaca al- Qur’an
- Bersikap ramah, ceria dan suka menabur salam
- Menumbuhkan semangat untuk menambah ilmu
- Membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas.
Catatan yang menarik dan perlu dikedepankan dalam membahas pemikiran dan
pandangan yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari adalah etika atau statement yang terakhir, dimana guru harus membiasakan diri
menulis, mengarang dan meringkas, yang pada masanya jarang sekali dijumpai.
Dan hal ini beliau buktikan dengan banyaknya kitab hasil karangan atau tulisan
beliau.
Betapa majunya pemikiran Hasyim Asy’ari dibanding tokoh-tokoh lain pada
zamannya, bahkan beberapa tahun sesudahnya. Dan pemikiran ini ditumbuh serta
diangkat kembali oleh pemikir pendidik zaman sekarang ini, yaitu Harun
Nasution, yang mengatakan hendaknya para dosen-dosen di Perguruan Tinggi Islam
khususnya agar membiasakan diri untuk menulis.
2). Etika guru
dalam mengajar
- Jangan mengajarkan hal-hal yang syubhat
- Mensucikan diri, berpakaian sopan dan memakai wewangian
- Berniat beribadah ketika mengajar, dan memulainya dengan do’a
- Biasakan membaca untuk menambah ilmu
- Menjauhkan diri dari bersenda gurau dan banyak tertawa
- Jangan sekali-kali mengajar dalam keadaan lapar, mengantuk atau marah
- Usahakan tampilan ramah, lemah lembut, dan tidak sombong
- Mendahulukan materi-materi yang penting dan sesuai dengan profesional
yang dimiliki
- Menasihati dan menegur dengan baik jika anak didik bandel
- Bersikap terbuka terhadap berbagai persoalan yang ditemukan
- Memberikan kesempatan pada anak didik yang datangnya terlambat dan
ulangilah penjelasannya agar tahu apa yang dimaksudkan
- Beri anak kesempatan bertanya terhadap hal-hal yang belum dipahaminya.
Terlihat bahwa apa yang ditawarkan Hasyim Asy’ari lebih bersifat
pragmatis, artinya, apa yang ditawarkan beliau berangkat dari praktik yang
selama ini dialaminya. Inilah yang memberikan nilai tambah dalam konsep yang
dikemukakan oleh Bapak santri ini.
Terlihat juga betapa beliau sangat memperhatikan sifat dan sikap serta
penampilan seorang guru. Berpenampilan yang terpuji, bukan saja dengan
keramahantamahan, tetapi juga dengan berpakaian yang rapi dan memakai minyak
wangi.
Agaknya pemikiran Hasyim Asy’ari juga sangat maju dibandingkan zamannya,
ia menawarkan agar guru bersikap terbuka, dan memandang murid sebagai subyek
pengajaran bukan hanya sebagai obyek, dengan memberi kesempatan kepada
murid-murid bertanya dan menyampaikan berbagai persoalan di hadapan guru.
3). Etika guru
bersama murid
- Berniat mendidik dan menyebarkan ilmu
- Menghindari ketidak ikhlasan
- Mempergunakan metode yang mudah dipahami anak
- Memperhatikan kemampuan anak didik
- Tidak memunculkan salah satu peserta didik dan menafikan yang lain
- Bersikap terbuka, lapang dada, arif dan tawadhu’
- Membantu memecahkan masalah-masalah anak didik
- Bila ada anak yang berhalangan hendaknya mencari ihwalnya.
Kalau sebelumnya terlihat warna tasawufnya, khususnya ketika membahas
tentang tugas dan tanggung jawab seorang pendidik. Namun kali ini
gagasan-gagasan yang dilontarkan beliau berkaitan dengan etika guru bersama
murid menunjukkan keprofesionalnya dalam pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari
rangkuman gagasan yang dilontarkannya tentang kompetensi seorang pendidik, yang
utamanya kompetensi profesional.
Hasyim Asy’ari sangat menganjurkan agar seorang pendidik atau guru perlu
memiliki kemampuan dalam mengembangkan metode dan memberi motivasi serta
latihan-latihan yang bersifat membantu murid-muridnya memahami pelajaran.
Selain itu, guru juga harus memahami murid-muridnya secara psikologi, mampu
memahami muridnya secara individual dan memecahkan persoalan yang dihadapi
murid, mengarahkan murid pada minat yang lebih dicendrungi, serta guru harus
bersikap arif.
Jelas pada saat Hasyim Asy’ari melontarkan pemikiran ini, ilmu pendidikan
maupun ilmu psikologi pendidikan yang sekarang beredar dan dikaji secara luas
belum tersebar, apalagi di kalangan pesantren. Sehingga ke-genuin-an pemikiran
beliau patut untuk dikembangkan selaras dengan kemajuan dunia pendidikan.
d. Etika Terhadap Buku, Alat Pelajaran dan
Hal-hal Lain Yang Berkaitan Dengannya
Satu hal yang menarik dan terlihat beda dengan materi-materi yang biasa
disampaikan dalam ilmu pendidikan umumnya, adalah etika terhadap buku dan
alat-alat pendidikan. Kalaupun ada etika untuk itu, namun biasanya hanya
bersifat kasuistik dan seringkali tidak tertulis, dan seringkali juga hanya
dianggap sebagai aturan yang umum berlaku dan cukup diketahui oleh
masing-masing individu. Akan tetapi bagi Hasyim Asy’ari memandang bahwa etika
tersebut penting dan perlu diperhatikan. Di antara etika tersebut adalah:
- Menganjurkan
untuk mengusahakan agar memiliki buku
- Merelakan dan
mengijinkan bila ada kawan meminjam buku pelajaran, sebaliknya bagi peminjam
menjaga barang pinjamannya
- Memeriksa
dahulu bila membeli dan meminjamnya
- Bila menyalin
buku syari’ah hendaknya bersuci dan mengawalnya dengan basmalah, sedangkan bila
ilmu retorika atau semacamnya, maka mulailah dengan hamdalah dan shalawat Nabi.
Kembali tampak kejelian dan ketelitian beliau dalam melihat permasalahan
dan seluk beluk proses belajar mengajar. Etika khusus yang diterapkan untuk
mengawali suatu proses belajar adalah etika terhadap buku yang dijadikan sumber
rujukan, apalagi kitab-kitab yang digunakan adalah kitab “kuning” yang
mempunyai keistimewaan atau kelebihan tersendiri. Agaknya beliau memakai dasar
epistemologis, ilmu adalah Nur Allah, maka bila hendak mempelajarinya orang
harus beretika, bersih dan sucikan jiwa. Dengan demikian ilmu yang dipelajari
diharapkan bermanfaat dan membawa berkah.
Pemikiran seperti yang dituangkan oleh Hasyim Asy’ari itu patut untuk
menjadi perhatian pada masa sekarang ini, apakah itu kitab “kuning” atau tidak,
misalnya kitab “kuning” yang sudah diterjemahkan, atau buku-buku sekarang yang
dianggap sebagai barang biasa, kaprah dan ada di mana-mana. Namun untuk
mendapatkan hasil yang bermanfaat dalam belajar etika semacam di atas perlu
diterapkan dan mendapat perhatian.
Demikian sebagian dari pemikiran mengenai pendidikan yang dikemukan oleh
Hasyim Asy’ari. Kelihatannya pemikiran tentang pendidikan ini sejalan dengan
apa yang sebelumnya telah dikemukakan oleh Imam Ghazali, misalnya saja, Hasyim
Asy’ari mengemukakan bahwa tujuan utama pendidikan itu adalah mengamalkannya, dengan maksud agar ilmu
yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat
kelak. Imam Ghazali juga mengemukakan bahwa pendidikan pada prosesnya haruslah
mengacu kepada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insani. Oleh
karena itu tujuan pendidikan menurut al-Ghazali adalah “tercapainya kemampuan
insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah, dan kesempurnaan insani
yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat“.[19]Dan senada pula dengan
pendapat Ahmad D.Marimba bahwa, “pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan
secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si
terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama”.
Begitu juga pemikiran Hasyim Asy’ari mengenai niat orang orang yang
menuntut ilmu dan yang mengajarkan ilmu, yaitu hendaknya meluruskan niatnya
lebih dahulu, tidak meng-harapkan hal-hal duniawi semata, tapi harus niat
ibadah untuk mencari ridha Allah. Demikian juga dengan al Ghazali yang berpendapat
bahwa tujuan murid menuntut ilmu adalah mendekatkan diri kepada Allah dan
mensucikan batinnya serta memperindah dengan sifat-sifat yang utama. Dan
janganlah menjadikan ilmu sebagai alat untuk mengumpulkan harta kekayaan, atau
untuk mendapatkan kelezatan hidup dan lain sebagainya. Akan tetapi tujuan utama
adalah untuk kebahagiaan akhirat. Dan mengenai guru al-Ghazali lebih keras,
bahwa guru mengajar tidak boleh digaji.
Mengenai etika seorang murid yang dikemukakan Hasyim Asy’ari sejalan
dengan pendapat al-Ghazali yang mengatakan “hendaknya
murid mendahulukan kesucian batin dan kerendahan budi dari sifat-sifat tercela…
seperti marah, hawa nafsu, dengki, busuk hati, takabur, ujub dan sebagainya”.
Daftar Pustaka
Lathiful Khuluq, Kebangkitan Ulama , Biografi
K.H.Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: LKIS, 2000).
Maksum
Machfoedz, Kebangkitan Ulama dan Bangkitnya Ulama, (Surabaya: Yayasan Kesatuan Umat,
1982).
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press,
2002).
Pradjata
Dirdjosanjoto, Memelihara Umat, Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa,
(Yogyakarta: UKIS, 1999)
Post a Comment for "SEJARAH PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM “TOKOH PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM” (K. H. HASYIM ASY’ARI)"