MAKALAH PERSAUDARAAN DALAM ISLAM
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam syari’at
Islam banyak ajaran yang mengandung muatan untuk lebih mempererat tali
persaudaraan dan solidaritas sesama umat Islam. Betapa penting silaturahmi
dalam kehidupan umat islam terutama dalam pendidikan. Hal ini karena menyambung
silaturahmi berpengaruh terhadap pendidikan karena bekal hidup di dunia dan
akhirat, orang yang selalu menyambung silaturhami akan dipanjangkan usianya
dalam arti akan dikenang selalu. Orang yang selalu bersilaturahmi tentunya akan
memiliki banyak teman dan relasi, sedangkan relasi merupakan salah satu faktor
yang akan menunjang kesuksesan seseorang dalam berusaha. Selain dengan
banyaknya teman akan memperbanyak saudara dan berarti pula ialah meningkatkan
ketakwaan kepada Allah. Hal ini karena telah melaksanakan perintah-Nya, yakni
menghubungkan silaturahmi. Bagi mereka yang bertakwa Allah akan memberikan
kemudahan dalam setiap urusannya.
Salah satu
landasan utama yang mampu menjadikan umat bersatu atau bersaudara ialah
persamaan kepercayaan atau akidah. Ini telah dibuktikan oleh bangsa Arab yang
sebelum Islam selalu berperang dan bercerai-berai tetapi setelah mereka
menganut agama Islam dan memiliki pandangan yang sama baik lahir maupun batin,
mereka dapat bersatu.
Betapa penting
silaturahmi dalam kehidupan umat islam terutama dalam pendidikan. Hal ini
karena menyambung silaturahmi berpengaruh terhadap pendidikan karena bekal
hidup di dunia dan akhirat, orang yang selalu menyambung silaturhami akan
dipanjangkan usianya dalam arti akan dikenang selalu.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian
persaudaraan?
2.
Bagaimana konsep
persaudaraan dalam Al-Qur’an?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui
pengertian persaudaraan.
2.
Untuk mengetahui konsep
persaudaraan dalam Al-Qur’an.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Persaudaraan
Persaudaraan dalam dalam Al-Qur’an yaitu, ada kataukhuwwah
(persaudaraan), ikhwah (saudara seketurunan) dan ikhwan (saudara
tidak seketurunan). Dalam al Qur’an kata akhu (saudara) digunakan untuk
menyebut saudara kandung atau seketurunan (QS. An Nisa/4:23), saudara sebangsa
(QS. Al-A’raf/7:65), saudara semasyarakat walau berselisih faham (QS Shaad/38:23)
dan saudara seiman (QS. Al-Hujurat/49:10). Al-Qur’an bukan hanya menyebut
persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah insaniyyah), tetapi bahkan menyebut binatang
dan burung sebagai ummat seperti ummat manusia (QS. Al-An’am/6:38) sebagai
saudara semakhluk (ukhuwwah makhluqiyyah).
Pengertian Ukhuwwah al-Islamiyah, dalam kamus bahasa arab Ukhuwwah (الأُخُوَّة ) berarti persaudaraan. Jika
kita sebut Ukhuwwah al-Islamiyyah ini berarti Ukhuwwah yang terjalin antar
muslim karena ke-islaman-nya, bukan karena faktor lain.Istilah ukhuwwah
Islamiyyah bukan bermakna persaudaraan antara orang-orang Islam, tetapi
persaudaraan yang didasarkan pada ajaran Islam atau persaudaraan yang bersifat
Islami. Dalam kamus bahasa Arab kata أخوةditerangkan sebagai berikut:
أخوة من أخ، وأما الهمزة والخاء اصلان: (احدهما)
تأوه أو تكرّه.[1]
Intinya dalam keterangan tersebut lafal أخوة berasal dari kata أخyang mempunyai dua huruf asli yaitu hamzah dan kha’dan yang terahir diberi wawu atau mengulangi satu huruf yang
ahir, yang mempunyai makna persaudaraan. Oleh karena cakupan ukhuwwah Islamiyyah bukan hanya
menyangkut sesama orang Islam tetapi juga menyangkut persaudaraan dengan non
muslim, bahkan dengan makhluk yang lain.
Semua orang mukmin dipandang sebagai suatu keluarga sebab mereka semua
memiliki asas tunggal, yaitu iman. Hubungan keimanan lebih dekat daripada
keturunan.[2]
Seperti yang diterangkan dalam Hadis Nabi Saw berikut, yang mengungkapkan bahwa
orang muslim satu dengan yang lainnya adalah saudara yang saling menguatkan
antar sesamanya, karena selalu inheren seperti bangunan yang satu.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا
اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ سَالِمًا أَخْبَرَهُ أَنَّ
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ .أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا
يُسْلِمُهُ وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ
فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ
يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Yahya
bin Bukair telah menceritakan kepada kami Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab
bahwa Salim mengabarkannya bahwa 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhuma
mengabarkannya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak
menzhaliminya dan tidak membiarkannya untuk disakiti. Siapa yang membantu
kebutuhan saudaranya maka Allah akan membantu kebutuhannya. Siapa yang
menghilangkan satu kesusahan seorang muslim, maka Allah menghilangkan satu
kesusahan baginya dari kesusahan-kesusahan hari qiyamat. Dan siapa yang
menutupi (aib) seorang muslim maka Allah akan menutup aibnya pada hari qiyamat”.(H.R
Bukhari: 2262)[3]
Hadis
tersebut meberikan penjelasan, bahwa seorang muslim mempunyai hubungan yang
sangat kuat yang didasari dengan satu idiologi keimanan, yang mana seorang
muslim tidak akan menzhalimi saudaranya dan diapun tidak akan membiarkan
saudaranya yang sesama muslim tersebut disakiti. Hubungan horisotal tersebut
menjadi sisi lain dari peningnya keberagamaan bagi seorang muslim, terlepas
dari kenyataan kehidupan muslim modern, perintah untuk saling menghargai dan
gotong royong sesama muslim harus selalu ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari
seperi dalam tatanan mu’amalah dalam islam, karena selayaknya makhluk
sosial, manusia pasti saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya, dalam
ketidak sempurnaanya dianjukan untuk saling mengisi dan melengkapi kekurangan
satu muslim dengan muslim yang lainnya, bagaikan bangunan yang saling
mengokohkan antar satu lini dengan lini yang lainnya.
B. Konsep Persaudaraan
Ciri khusus masyarakat yang diidealkan Al-Qur’an berikutnya adalah
masyarakat yang anggota warganya sepenuhnya selalu menjalin persaudaraan. Suatu
masyarakat tidak akan berdiri tegak apabila anggota warganya tidak menjalin
persaudaraan. Persaudaraan tidak akan terwujud apabila tidak ada rasa saling
mencintai dan bekerja sama. Setiap anggota masyarakat yang diikat oleh ikatan
kerjasama dan kasih sayang serta persatuan yang sebenarnya, tidak mungkin dapat
bersatu untuk mencapai tujuan bersama. Persaudaraan antar sesama manusia harus
tulus ikhlas, tidak bisa jika menalin
persaudaraan dengan mempunyai maksud tertentu, atau dalam jargonnya “ada
udang di balik batu”, jika dalam menjalin persaudaraan terselip rasa tersebut
pasti suatu saat akan merusak persaudaraan yang telah dibangun.
Persaudaraan menepis segala perbedaan yang bisa menyulut sebuah
pertikaian, dalam persaudaraan seseorang harus mengenyampingkan perbedaan yang
bisa menimbulkan permusuhan, seperti SARA, apalagi dalam keragaman agama dan
budaya yang seperti kita miliki, maka kita harus saling memahami dan menghargai
segala perbedaan yang ada jika ingin menjaga tali persaudaraan dengan baik,
dengan keadaan masyarakat yang multikultur, perbedaan yang ada sebisa munkin
kita maksimalkan untuk kekayaan dan keragaman, bukan untuk dibandingkan dan
petak-petakkan.
Bentuk persaudaan yang dianjurkan oleh Al-Qur’an tidak hanya persaudaraan satu akidah, namun
juga dengan warga masyarakat lain yang berbeda akidah. Ungkapan Al-Qur’an untuk
menunjuk persaudaraan seakidah disebut dengan ikhwah dengan segala
turunannya. Sedangkan untuk yang berlainan akidah Al-Qur’an tidak menggunakan kata tersebut.
Untuk itu dalam makalah ini penulis menggunakan istilah toleransi yang memang
diajarkan dalam Al-Qur’an.[4]
Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa sesama mukmin adalah bersaudara;
Q.S. Al-Hujurat /49:10,
$yJ¯RÎ)tbqãZÏB÷sßJø9$#×ouq÷zÎ)(#qßsÎ=ô¹r'sùtû÷üt/ö/ä3÷uqyzr&4(#qà)¨?$#ur©!$#÷/ä3ª=yès9tbqçHxqöè?ÇÊÉÈ
Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara. Karena itu,
damaikanlah kedua saudara kalian, dan
bertakwalah kalian kepada Allah supaya
kalian mendapatkan rahmat. (QS
al-Hujurat [49]: 10).
Ayat ini merupakan kelanjutan sekaligus penegasan perintah dalam ayat
sebelumnya untuk meng-ishlâh-kan kaum Mukmin yang bersengketa. Ituadalah solusi
jika terjadi persengketaan. Namun, Islam juga memberikan langkah-langkah untuk
mencegah timbulnya persengketaan. Misal, dalam dua ayat berikutnya, Allah Swt.
melarang beberapa sikap yang dapat memicu pertikaian, seperti saling
mengolok-olok dan mencela orang lain, panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang
buruk (QS al-Hujurat [49]: 11); banyak berprasangka, mencari-cari kesalahan
orang lain, dan menggunjing saudaranya (QS al-Hujurat [49]: 12).
Asbabun Nuzul QS al-Hujurat [49]: 10) sebagaimana dijelaskan dalam hadits
yang artinya:[5]
Telah
menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Mu'tamir
berkata, aku mendengar bapakku bahwa Anas radliallahu 'anhu berkata:
"Dikatakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam "Sebaiknya
Baginda menemui 'Abdullah bin Ubay." Maka Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam menemuinya dengan menunggang keledai sedangkan Kaum Muslimin berangkat
bersama Beliau dengan berjalan kaki melintasi tanah yang tandus. Ketika Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam menemuinya, ia berkata: "Menjauhlah dariku,
demi Allah, bau keledaimu menggangguku". Maka berkatalah seseorang dari
kaum Anshar diantara mereka: "Demi Allah, sungguh keledai Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam lebih baik daripada kamu". Maka seseorang
dari kaumnya marah demi membela 'Abdullah bin Ubay dan ia mencelanya sehingga
marahlah setiap orang dari masing-masing kelompok. Saat itu kedua kelompok
saling memukul dengan pelepah kurma, tangan, dan sandal. Kemudian sampai kepada
kami bahwa telah turun ayat QS. Al Hujurat: 10 yang artinya ("jika dua
kelompok dari kaum muslimin berperang maka damaikanlah keduanya").
SebagaimanaFirman Allah Swt. QS. Al-Hujurat: 10 tentang
persaudaraan, yaitu[6]
{إِنَّمَاالْمُؤْمِنُونَإِخْوَةٌ}
Sesungguhnya
orang-orang mukmin adalah bersaudara. (Al-Hujurat: 10)
Yakni semuanya adalah saudara seagama, seperti yang disebutkan oleh
Rasulullah Saw. dalam salah satu sabdanya yang mengatakan:
"الْمُسْلِمُأَخُوالْمُسْلِمِلَايَظْلِمُهُوَلَايُسْلِمُهُ"
Orang muslim
itu adalah saudara muslim lainnya, ia tidak boleh berbuat aniaya terhadapnya
dan tidak boleh pula menjerumuskannya.
Di dalam hadis sahih disebutkan:
"وَاللَّهُفِيعَوْنِالْعَبْدِمَاكَانَالْعَبْدُفِيعَوْنِأَخِيهِ"
Allah
senantiasa menolong hamba-Nya selama si hamba selalu menolong saudaranya.
Di dalam kitab shahih pula disebutkan:
"إِذَادَعَاالْمُسْلِمُلِأَخِيهِبِظَهْرِالْغَيْبِقَالَالْمَلَكُ:
آمِينَ،وَلَكَبِمِثْلِهِ"
Apabila
seorang muslim berdoa untuk kebaikan saudaranya tanpa sepengetahuan yang
bersangkutan, maka malaikat mengamininya dan mendoakan, "Semoga engkau mendapat
hal yang serupa.”
Hadis-hadis yang menerangkan hal ini cukup banyak; dan di dalam hadis
sahih disebutkan:
مَثَلُالْمُؤْمِنِينَفِيتَوادِّهموَتَرَاحُمِهِمْوَتَوَاصُلِهِمْكَمَثَلِالْجَسَدِالْوَاحِدِ،إِذَااشْتَكَىمِنْهُعُضْوٌتَدَاعَىلَهُسَائِرُالْجَسَدِبالحُمَّىوالسَّهَر
Perumpamaan
orang-orang mukmin dalam persahabatan kasih sayang dan persaudaraannya sama
dengan satu tubuh; apabila salah satu anggotanya merasa sakit, maka rasa
sakitnya itu menjalar ke seluruh tubuh menimbulkan demam dan tidak dapat tidur
(istirahat).
Di dalam hadis
sahih disebutkan pula:
"الْمُؤْمِنُلِلْمُؤْمِنِكَالْبُنْيَانِ،يَشُدُّبَعْضُهُبَعْضًا"
Orang mukmin
(terhadap mukmin lainnya) bagaikan satu bangunan, satu sama lainnya saling
kuat-menguatkan.
Firman Allah
Swt.:
{فَأَصْلِحُوابَيْنَأَخَوَيْكُمْ}
maka
damaikanlah antara keduanya. (Al-Hujurat: 10)
Yakni di
antara kedua golongan yang berperang itu.
{وَاتَّقُوااللَّهَ}
dan
bertakwalah kepada Allah. (Al-Hujurat: 10) dalam semua urusan kalian.
{لَعَلَّكُمْتُرْحَمُونَ}
supaya kamu mendapat
rahmat. (Al-Hujurat: 10)
Ini merupakan pernyataan dari Allah Swt. yang mengandung kepastian bahwa
Dia pasti memberikan rahmat-Nya kepada orang yang bertakwa kepada-Nya.
Allah Swt. berfirman: Innamâ al-Mu‘minûn ikhwah. (Sesungguhnya
orang-orang Mukmin itu bersaudara). Siapapun, asalkan Mukmin, adalah
bersaudara. Sebab, dasar ukhuwah (persaudaraan) adalah kesamaan akidah.
Ayat ini menghendaki ukhuwah kaum Mukmin harus benar-benar kuat, lebih
kuat daripada persaudaraan karena nasab. Hal itu tampak dari: Pertama,
digunakannya kata ikhwah- dan kata ikhwan- yang merupakan jamak dari kata
akh[un] (saudara). Kata ikhwah dan ikhwan dalam pemakaiannya bisa saling
menggantikan. Namun, umumnya kata ikhwah dipakai untuk menunjuk saudara
senasab, sedangkan ikhwan untuk menunjuk kawan atau sahabat. Dengan memakai
kata ikhwah, ayat ini hendak menyatakan bahwa ukhuwah kaum Muslim itu lebih
daripada persahabatan atau perkawanan biasa.
Kedua, ayat ini diawali dengan kata innamâ. Meski secara bahasa, kata innamâ tidak selalu bermakna hasyr
(pembatasan), kata innamâ dalam ayat ini memberi makna hasyr. Artinya, tidak
ada persaudaraan kecuali antar sesama Mukmin, dan tidak ada persaudaraan di
antara Mukmin dan kafir. Ini mengisyaratkan bahwa ukhuwah Islam lebih kuat daripada
persaudaraan nasab. Persaudaraan nasab
bisa terputus karena perbedaan agama. Sebaliknya, ukhuwah Islam tidak terputus
karena perbedaan nasab.Bahkan, persaudaraan nasab dianggap tidak ada jika
kosong dari persaudaraan (akidah) Islam.[7]
Hal ini tampak, misalnya, dalam hal waris. Tidak ada hak waris antara
Mukmin dan kafir dan sebaliknya. Jika seorang Muslim meninggal dan ia hanya
memiliki saudara yang kafir, saudaranya yang kafir itu tidak boleh mewarisi
hartanya, namun harta itu menjadi milik kaum Muslim. Sebaliknya, jika
saudaranya yang kafir itu meninggal, ia tidak boleh mewarisi harta saudaranya
itu. Dalam hal kekuasaan, umat Islam tidak boleh menjadikan orang kafir sebagai
wali (pemimpin), sekalipun ia adalah bapak dan saudara mereka (QS at-Taubah [9]:
24). [8]
Kemudian Allah Swt. berfirman: fa ashlihû bayna akhawaykum (Karena
itu, damaikanlah kedua saudara kalian).
Karena bersaudara, normal dan alaminya kehidupan mereka diliputi kecintaan,
perdamaian, dan persatuan. Jika terjadi sengketa dan peperangan di antara
mereka, itu adalah penyimpangan, yang harus dikembalikan lagi ke keadaan normal
dengan meng-ishlâh-kan mereka yang bersengketa, yakni mengajak mereka untuk
mencari solusinya pada hukum Allah dan Rasul-Nya.
Kata akhawaykum (kedua saudara kalian) menunjukkan jumlah paling
sedikit terjadinya persengketaan. Jika
dua orang saja yang bersengketa sudah wajib didamaikan, apalagi jika lebih dari
dua orang. Digunakannya kata akhaway (dua orang saudara) memberikan makna,
bahwa sengketa atau pertikaian di antara mereka tidak mengeluarkan mereka dari
tubuh kaum Muslim. Mereka tetap disebut saudara. Ayat sebelumnya pun menyebut
dua kelompok yang saling berperang sebagai Mukmin. Adapun di-mudhâf-kannya
kata akhaway dengan kum (kalian, pihak
yang diperintah) lebih menegaskan kewajiban ishlâh (mendamaikan) itu sekaligus
menunjukkan takhshîsh (pengkhususan) atasnya.Artinya, segala sengketa di antara
sesama Mukmin adalah persoalan internal umat Islam, dan harus mereka selesaikan
sendiri.
Perintah dalam ayat ini merupakan penyempurna perintah ayat sebelumnya.
Ayat sebelumnya mengatakan: wa in thâ’ifatâni min al-Mu‘minîna [i]qtatalû (jika
ada dua golongan dari kaum Mukmin berperang). Kata thâ’ifatâni (dua golongan)
dapat membuka celah kesalahan persepsi, seolah ishlâh hanya diperintahkan jika
dua kelompok berperang, sedangkan jika dua orang bertikai, apalagi tidak sampai
perang ([i]qtatalû) seperti hanya saling mencaci dan memaki, dan tidak
menimbulkan kerusakan umum, tidak harus di-ishlâh. Karena itu, firman Allah Swt. bayna
akhawaykum itu menutup celah salah persepsi itu. Jadi, meski yang bersengketa
hanya dua orang Muslim dan masih dalam taraf yang paling ringan, ishlâh harus
segera dilaksanakan.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: wa [i]ttaqû Allâh la‘allakum turhamûn (dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya
kalian mendapat rahmat). Takwa harus dijadikan panduan dalam melakukan ishlâh
dan semua perkara. Dalam melakukan ishlâh itu, kaum Mukmin harus terikat dengan
kebenaran dan keadilan; tidak berbuat zalim dan tidak condong pada salah satu
pihak. Sebab, mereka semua adalah saudara yang disejajarkan oleh Islam.
Artinya, sengketa itu harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan hukum-hukum
Allah, yakni ber-tahkîm pada syariat. Dengan begitu, mereka akan mendapat rahmat
Allah Swt.
Jelas sekali ayat ini mewajibkan umat Islam agar bersatu dengan akidah
Islam sebagai landasan persatuan mereka. Islam menolak setiap paham selain
akidah Islam sebagai dasar persatuan.
Dalam ayat-ayat ini Allah menjelaskan bagaimana para mukmin mendamaikan
dua golongan yang bersengketa dan menyuruh para mukmin memerangi golongan yang
kembali berbuat aniaya (zalim) sesudaj diadakan perdamaian, sehingga dengan
demikian mereka bisa kembali kepada perdamaian yang mereka langgar.
Perdamaian sebagaimana wajib kita lakukan antara dua golongan yang
bermusuhan, begitu pula antara dua orang yang bersaudara yang bersengketa. Pada
akhirnya Allah menyuruh kita bertakwa kepada-Nya dan mengakui hukumnya.[9]
Beliau membangun lima azas, yaitu :
1.
Pertama adalah Al-Ikha
(persaudaraan).
Rasulullah saw menegakkan masyarakat Islam atas dasar persaudaraan yang
kokoh dan kuat. Karenanya kaum muslimin itu bersaudara.
Dalam Islam, persaudaraan tidak mengenal batas-batas teritorial,
geografis, suku, etnis, ras, maupun warna kulit. Ppersaudaraan dalam Islam senantiasa mengikat
dan mempersatukan tujuan serta memperkuat barisan, mengajak kepada kerjasama,
gotong royong, bahu membahu atas dasar kebaikan dan kasih sayang.
Imam Bukhari meriwayatkan, setiba kaum Muslimin dari Makkah ke Madinah,
Rasulullah Saw mempersaudarakan Abdur Rahman bin Auf dengan Sa`ad bin Ar-Rabi`.
Setelah dipersaudarakan Sa`ad berkata kepada Abdur Rahman, “Saya termasuk orang
Anshar yang berharta banyak. Itu hendak saya bagi dua separoh untukku dan separo
untuk Anda. Saya juga mempunyai dua istri, lihat dan tunjuklah mana di antara
dua perempuan itu yang Anda sukai, ia akan kucerai dan bila iddah-nya telah
selesai silakan Anda nikahi.”
Abdurrahman menjawab, “Semoga Allah memberkati keluarga dan harta Anda.
Tunjukkan saja padaku di mana pasar tempat Anda berniaga.” Atas permintaan
Abdur Rahman itu Sa`ad menunjuk pasar Qainuqa`. Beberapa waktu kemudian
ternyata Abdur Rahman telah mempunyai kelebihan bahan makanan seperti keju
(jubn) dan minya makan (samn).
Pada suatu hari ia datang menghadap Rasul. Beliau bertanya, “Apakah masih
kesepian?” Abdur Rahman menjawab, “Saya sudah beristri.” “Berapa mahar mas
kawin yang engkau berikan?” “Emas sebesar biji kurma.”
Masih banyak berita-berita riwayat yang menunjukkan betapa besar
perhatian kaum Anshar terhadap saudara-saudaranya dari kaum Muhajirin. Dengan
kesadaran tinggi dan persaudaraan yang tulus mereka rela mengorbankan sebagian
kekayaan mereka untuk membantu kehidupan kaum Muhajirin.
2.
Kedua, Al-Musaawaah (persamaan
derajat).
Rasul Saw menegakkan masyarakat di atas kaidah persamaan yang sempurna
antar umat manusia, bukan hanya di antara umat Islam, tapi juga di antara
elemen masyarakat di luar komunitas Islam. Tidak ada kelebihan antara seseorang
dengan lainnya, tidak ada kelebihan dan keistimewaan antara si kulit putih
dengan si kulit hitam, tidak ada kelebihan antara orang arab dengan bukan arab.
Dengan semangat persamaan pula, Nabi menghapus diskriminasi yang
sebelumnya membelenggu kehidupan umat manusia. Dalam salah satu kesempatan
beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menghilangkan semangat jahiliyah,
kebanggaan mereka dengan nenek moyangnya, karena kalian berasal dari Adam dan
Hawa, dan sesungguhnya semulia-mulia kalian di sisi Allah adalah yang paling
bertakwa.” (HR. Baihaqi)
3.
Ketiga, Al-Ta`aawun
(Saling tolong-menolong).
Rasulullah Saw mengetengahkan asas kehidupan masyarakat setelah hijrah
atas sikap tolong-menolog. Tolong menolong tersebut untuk kebaikan dan
keutamaan, menjauhi hal yang haram, membasmi kemunkaran yang bercokol, dan
mengenyahkan kebatilan serta kemusyrikan, menjaga bangunan tubuh masyarakat
Islam dari penyakit-penyakit masyarakat yang bisa membawa pada kehancuran dan
bercerai-berai.
4.
Keempat, Al-Tasamuh
(toleransi).
Masyarakat Islam ditegakkan atas dasar toleransi dalam makna dan cakupan
yang luas. Islam menetapkan toleransi dan penghormatan terhadap keyakinan dan
kepercayaan umat lain, serta tidak seorang pun yang dapat memaksakan
kepercayaan dan agama Islam pada orang lain selaras dengan firman Allah:
“Tidak ada
paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); telah jelas jalan yang benar dari jalan
yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman
kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat
yang tidak akan putus. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs.
Al-Baqarah: 256)
Salah satu fenomena yang cukup menghebohkan dunia Islam saat ini adalah
adanya sekelompok umat yang aktif mengkafirkan kelompok lainnya. Mereka
memandang bahwa orang-orang yang ada di luar kelompoknya, sebagai kafir,
murtad, dan keluar dari Islam.
Setiap kali berbeda pendapat dengan orang lain, mereka dengan mudah
menyerang lawan bicaranya itu dengan julukan kafir. Seolah-olah di dunia ini
hanya dirinya saja yang berhak menganut agama Islam, sedangkan orang lain
sangat rentan untuk menjadi kafir.
Maka dengan semangat hijrah, kita dididik untuk menjadi umat yang toleran
dalam perbedaan pendapat dan pandangan, tidak mudah menjatuhkan vonis kafir,
bid`ah, dan syirik kepada pihak lain sesama umat Islam.
5.
Kelima, Al-A`dalah
(keadilan).
Rasulullah saw menegakkan masyarakat Islami atas dasar keadilan yang
luas, baik terhadap kawan maupun lawan, keadilan yang tidak pandang bulu,
pangkat dan kedudukan.
Keadilan yang dibangun oleh Rasul adalah keadilan yang memberikan hak
sesuai porsinya; keadilan yang memandang kaum lemah itu kuat karena ada hak
yang harus diterimanya dan memandang orang-orang kuat yang merampas dan
menginjak-injak haknya orang lain itu lemah. Suara keadilan telah digemakan
oleh Allah:
“Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (Qs. An-Nahl:
90)
Allah telah menyuruh kita berbuat adil, tidak cukup dengan adil saja,
namun dengan keadilan itu, kita harus berbuat kebajikan. Keadilan yang menjadi
asas pembangunan dan penyemaian nilai-nilai spiritual, moral, dan sosial dari
peristiwa hijrah meniscayakan kesejajaran seseorang di hadapan Allah sehingga
kehidupan umat Islam menjadi sentosa karenanya.
Dengan kekuatan asas yang dipancangkan oleh Rasulullah, lengkaplah
unsur-unsur yang diperlukan bagi terbentuknya masyarakat yang beriman,
bertakwa, bertauhid, yang berdiri gagah di atas puing-puing reruntuhan
Jahiliyah. Masyarakat yang sanggup menghadapi gelombang-gelombang zaman dalam
sejarah umat manusia. Masyarakat itu telah tiada, namun misi kebenaran Allah,
Islam, dan tugas sejarah yang pernah diembannya tak pernah hilang.
Yang pasti adalah masa kehidupan umat manusia akan cerah ceria bila
kemunkaran dan kebatilan telah sirna. “Dan katakanlah bila kebenaran telah
datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu
yang pasti lenyap.” (Qs. Al-Isra: 81)
Inilah
beberapa azas yang dibangun oleh Rasulullah dan sangat patut kita contoh agar
terciptanya kehidupan yang aman dan rukun.
Menurut M Quraisy Shihab, berdasarkan ayat-ayat yang ada dalam Al-Qur’an,
ada empat macam bentuk persaudaraan :
1.
Ukhuwah ‘ubudiyyah atau
saudara kesemakhlukan dan ketundukan kepada Allah.kita harus merasa bersaudara
karena kita semua adalah makhluk ciptaan Allah SWT.Meskipun dengan orang yang
berbedaagama,suku,budayadan yang lainnya.Tapi kita tetap merasa bersaudara
karena kita adalah sama-sama makhluk ciptaan Allah SWT.
2.
Ukhuwah Insaniyyah
(basyariyyah) dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara karena berasal
dari seorang ayah dan ibu. Rasulullah SAW juga menekankan hal ini melalui
sebuah hadits :
كونواعباداللهاخوانا ( رواهالبخارىعنأبىهريره)
3.
Ukhuwah Wathaniyah wa
an-nasab, yaitu persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan. Kita adalah satu
bangsa dan sama-sama berada di negara yang sama. Sehingga kita harus menjaga
keutuhannya agar bangsa kita ini, menjadi bangsa Indonesia yang tetap bersatu. Meskipun
di indonesia terdapat berbagai macam suku dan agama, tapi sikap toleransi antar
ummat manusia tetapa ktta bangun.
4.
Ukhuwah fi ad-din
al-Islam, persaudaraan muslim. Rasulullah SAW bersabda :
أنتمأصحابىاخوانناالذينيأتونبعدى
Artinya:“Kalian
adalah saudara-saudaraku, saudara-saudara kita adalah yang dating sesudah
(wafat)ku.”
Persaudaraan dalam Islam mengandung arti cukup luas tetapi persaudaraan
antar sesama muslim adalah pertama dan sangat utama. Sebagiamana disebutkan
dalam ayat 10 QS. Al-Hujurat.
Bagi mereka yang selalu menyambung silaturrahmi akan dipanjangkan
usianya. Adalah sangat logis memerlukan pemahaman dan persepsi yang berbeda.
Benar bahwa umur manusia telah dibatasi oleh Allah, dana tidak ada seorang pun
yang mampu mengubah kehendak Allah. Akan tetapi dengan banyaknya silaturrahmi,
maka perbuatan baik kepada sesama yang akan mendatangkan pahala, tentunya akan
terus terjalin.Dengan upaya membangun persaudaraan atau silaturrahmi, maka akan
menumbuhkan rasa kasih sayang antar sesama serta menumbuhkan gairah hidup
tersendiri. Sehingga, apabila terjadi problem-problem tertentu, dengan
banyaknya pikiran dan tenaga yang disatukan, tentu segala problematika dengan
mudah akan terselesaikan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Manusia sebagai makhluk sosial dan selalu hidup berdampinga tentinya
menginginkan adanya keidupan yan rukun, aman, damai dan tentram. Oleh sebab
itu, ditengah perbedaan – perbedaan yang ada hendaknya didalam dirinya manusia
dapat menumbuhkan Al-Ikha (persaudaraan), Al-Musaawaah (persamaan derajat),
Al-Ta`aawun (Saling tolong-menolong), Al-Tasamuh (toleransi), dan Al-A`dalah
(keadilan).
Dengan tumbuhnya hal-hal tersebut didalam diri manusia, maka dengan mudah
kerukunan antar sesama akan mudah terjalin. Dan berbagai masalah seperti permusuhan
dan pertengkaran tidak akan mudah terjadi.
Selain itu juga, dalam menumbuhkan rasa persaudaraan, perlu diketahui ada
berbagai bentuk persaudaraan yang perlu dibangun. Seperti menurut Quraisy
Shihab, yaitu Ukhuwah ‘ubudiyyah, Ukhuwah Insaniyyah (basyariyyah), Ukhuwah
Wathaniyah wa an-nasab, dan Ukhuwah fi ad-din al-Islam.
B. Saran
Untuk menjaga keutuhan masyarakat dan keutuhan bangsa kita yang dipenuhi
dengan keberagaman, hendaknya bersama-sama kita menumbuhkan rasa Ukhuwah dan
hal lainnya agar apa yan kita dan bangsa kita cita-citakan dapat terwujud.
Mudah-mudahan makalah ini dapat menjadi salah satu bacaan yang dapat
memberikan manfaat bagi para pembacanya. Dan semoga kesalahan dan kekurangan
yang terdapat dalam makalah ini, tidak ditemukan lagi pada makalah-makalah
selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, 1989, Taisiru al-Aliyyul Qadir li
Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Bina Insani.
Ash-Shiddieqy , Teungku Muhammad Hasbi, 2000, Tafsir Qur’anul
Majid An-Nuur, Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Nurdin, Ali, 2006, Qur’anic Society Menelusuri Konsep Masyarakat
iIdeal dalam Al-Qur’an, Jakarta: Erlangga.
Al-Bukhari,
Abi Muhammad Bin Isma’il Bin Ibrahim Bin Al-Mughirah Bin Bardizbah, Tt. Sahih
Bukhari, Semarang: Toha Putra.
Abi Husain Ahmad Bin Faris Bin Zakariya. Maqayiz
al-Lughah,Tt, Libanon: Dar al-Fikr.
[1]Abi Husain Ahmad Bin Faris Bin
Zakariya. Maqayiz al-Lughah,Libanon: Dar al-Fikr, Tt. 10.
[2]Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Qur’anul Majid An-Nuur, Semarang:Pustaka
Rizki Putra, 2000, 3919.
[3]Al-Bukhari, Abi Muhammad Bin Isma’il Bin Ibrahim Bin Al-Mughirah
Bin Bardizbah. Tt. Sahih Bukhari. Semarang: Toha Putra.
[4]Ali Nurdin, Qur’anic Society Menelusuri Konsep Masyarakat iIdeal
dalam Al-Qur’an, Jakarta: Erlangga, 2006, 70.
[5]Hadits dari kitab Shahih Bukhari nomor 2494 yang termasuk
dalam klasifikasi hadits yang berhubungan dengan al Qur’an. Dalam hal ini,
hadits Bukhari nomor 2492 merupakan riwayat yang berisi mengenai latar belakan
turunnya QS al Hujurat ayat 10.
[6] Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtisari
Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Bina Insani, 1989, 428.
[7]Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Qur’anul Majid An-Nuur,
Semarang:Pustaka Rizki Putra, 2000, 3919.
[8] Ali Nurdin, Qur’anic Society Menelusuri Konsep Masyarakat iIdeal
dalam Al-Qur’an, Jakarta: Erlangga, 2006, 70.
[9]Teungku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Qur’anul Majid An-Nuur,
Semarang:Pustaka Rizki Putra, 2000, 3919.
Post a Comment for "MAKALAH PERSAUDARAAN DALAM ISLAM"