Menengok Kondisi Literasi di Indonesia
Aktivitas literasi tidak terlepas dari kehidupan masyarakat. Literasi
menurut KBBI merupakan kemampuan menulis dan membaca. Lamb yang dikutip
Iriantara dalam bukunya Literasi Media (Apa, Mengapa, Bagaimana)
mengemukakan bahwa literasi tidak hanya didefinisikan sebagai kemampuan
membaca dan menulis semata, tetapi juga mengandung kemampuan
menempatkan, mengevaluasi, menggunakan dan mengkomunikasikan melalui
berbagai sumber daya termasuk teks, visual, suara dan video.
Pentingnya literasi ini diamini oleh UNESCO yang menyatakan bahwa literasi sebagai jantung pendidikan dasar untuk semua, dan penting untuk memberantas kemiskinan, mengurangi angka kematian anak, membatasi pertumbuhan penduduk, pencapaian kesetaraan gender dan memastikan pembangunan berkelanjutan, perdamaian dan demokrasi. Bahkan Anis Baswedan mengatakan bahwa keterampilan yang harus dimiliki masyarakat Indonesia adalah kemampuan literasi.
Literasi pun membawa dampak bagi tubuh kita. CEO The Reading Agency, Sue Wilkinson mengatakan bahwa dengan membaca akan memberikan manfaat kesehatan fisik dan juga psikologis. Hasil riset yang dilakukan kepada 1.500 orang pembaca dewasa menunjukkan sebanyak 76 persen mengatakan dengan membaca dapat meningkatkan kehidupan dan membuat mereka merasa lebih baik.
Kondisi literasi di Indonesia (Pesimisme Data)
Studi yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006 yang menunjukkan sebesar 85,9 persen masyarakat Indonesia memilih menonton televisi daripada mendengarkan radio (40,3 persen) dan membaca koran (23,5 persen).
Studi yang dilakukan oleh Central Connecticut State University “Most Littered Nation In the World” bahwa Indonesia berperingkat ke-60 dari 61 negara mengenai minat baca. Penelitian yang dilakukan pada Maret 2016 ini menempatkan Indonesia hanya berada satu peringkat dari terbawah dan di atas Botswana. Data yang dirilis Program for Internasional Student Assesment (PISA) pada tahun 2015 menyatakan dari segi literasi membaca, Indonesia memiliki skor 397 dari rata-rata skor 493.
Merujuk pada kajian yang dilakukan oleh Perpustakaan Nasional pada tahun 2015 menunjukkan bahwa minat baca masyarakat berada pada ketegori rendah atau berada pada angka 25,1. Bahkan bila melihat data dari UNESCO pada tahun 2012 mengungkap minat baca Indonesia hanya 0,001 yang menandakan setiap dari 1000 orang di Indonesia hanya 1 orang yang rajin membaca.
Miris bukan? Melihat data-data statistik yang dilakukan berbagai lembaga mengenai kondisi literasi Indonesia. Semua hasil riset menunjukkan minat literasi Indonesia yang sangat rendah. Lantas, apakah riset yang miris itu membuat kita pesimis mengenai kondisi literasi di Indonesia?
Optimisme Literasi
Duta baca Indonesia, Najwa Shihab, yang pastinya sangat familiar dengan acaranya yang tayang di salah satu siaran swasta, mengatakan bahwa kondisi literasi di Indonesia berdasarkan data-data yang dirilis tidaklah sepenuhnya benar. Pada salah satu wawancara, Najwa Shihab mengungkapkan, “Masa sih minat baca buku rendah? Karena setiap kali kita bawa buku (ke daerah), anak-anak menahan kita tidak boleh pulang sambil ditangisi. Mereka semangat membaca dan mengajak orang lain ikut membaca.”
Okelah kalau mba Najwa tentunya pasti akan mengatakan yang baik-baik dengan kondisi literasi di Indonesia karena seorang duta baca, namun apakah semudah itu mengatakan tanpa adanya pengalaman dengan mengunjungi berbagai daerah di Indonesia, bahkan sampai ke pelosok. Semangat menyebarkan literasi ke berbagai daerah mba Najwa sebagai contoh kecil yang dapat kita saksikan.
Mengapa kita harus optimis dengan kondisi literasi di Indonesia setelah melihat data-data riset yang miris tadi? Sudahkah kita mengetahui berapa organisasi ataupun komunitas yang bergerak untuk menyebarkan semangat literasi?
Berbagai organisasi ataupun komunitas dari penjuru Indonesia menggunakan segala cara untuk meyebarkan semangat literasi sebanyak mungkin kepada masyarakat. Nama-nama familiar seperti Bemo Pustaka, Perahu Pustaka, Motor Pustaka, Noken Pustaka, Serabi Pustaka, Motor Tahu Pustaka, Kuda Pustaka hingga Jamu Pustaka didirikan sesuai dengan kemampuan dan latar belakang si pendiri.
Di Aceh ada komunitas literasi Bangkit Aceh yang bersama dengan sekitar 30 komunitas lainnya bergerak menyebarkan semangat literasi kepada masyarakat. Di Kalimantan ada Yayasan Komunitas Ladang bersama dengan sekitar 50 komunitas lainnya. Di Sulawesi ada komunitas Stimulus Paradigma (Stigma) dengan Pustaka Senjanya yang setia menemami masyarakat untuk membaca dan diskusi bersama dengan sekitar 100 komunitas lainnya. Hingga Maluku dan Papua berdasarkan data dari Pos Indonesia terdapat 245 yang terdaftar sebagai taman baca masyarakat, salah satunya yang telah disebutkan di atas, Noken Pustaka.
Semangat literasi Indonesia yang bergerilya masuk ke berbagai daerah semakin tahun semakin meningkat karena begitu pentingnya dalam mencedaskan kehidupan yang tentunya juga berujung pada peningkatan kualitas diri. Bahkan seorang Raisa saja, yang baru saja bertunangan dengan Hamish sehingga muncul istilah hari patah hati nasional, memiliki hobi membaca buku. Bukan hobi yang baru saja digelutinya, tapi sudah dilakukan sejak kecil.
So, Masihkah kita terus berkutat pada data-data riset yang miris tadi mengenai kondisi literasi Indonesia? Bukankah sebagai kaum intelektual, tugas kita adalah berperan dalam memberikan pendidikan yang mencerdaskan dan membebaskan? Lantas, apakah kita hanya sebagai penonton saja tanpa ikut berjuang bersama pada pejuang-pejuang literasi dengan membawa tujuan, menyebarkan semangat literasi? Jawaban itu hanya ada pada diri kalian, dan di tunggu inovasi dan gebrakannya.
Pentingnya literasi ini diamini oleh UNESCO yang menyatakan bahwa literasi sebagai jantung pendidikan dasar untuk semua, dan penting untuk memberantas kemiskinan, mengurangi angka kematian anak, membatasi pertumbuhan penduduk, pencapaian kesetaraan gender dan memastikan pembangunan berkelanjutan, perdamaian dan demokrasi. Bahkan Anis Baswedan mengatakan bahwa keterampilan yang harus dimiliki masyarakat Indonesia adalah kemampuan literasi.
Literasi pun membawa dampak bagi tubuh kita. CEO The Reading Agency, Sue Wilkinson mengatakan bahwa dengan membaca akan memberikan manfaat kesehatan fisik dan juga psikologis. Hasil riset yang dilakukan kepada 1.500 orang pembaca dewasa menunjukkan sebanyak 76 persen mengatakan dengan membaca dapat meningkatkan kehidupan dan membuat mereka merasa lebih baik.
Kondisi literasi di Indonesia (Pesimisme Data)
Studi yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006 yang menunjukkan sebesar 85,9 persen masyarakat Indonesia memilih menonton televisi daripada mendengarkan radio (40,3 persen) dan membaca koran (23,5 persen).
Studi yang dilakukan oleh Central Connecticut State University “Most Littered Nation In the World” bahwa Indonesia berperingkat ke-60 dari 61 negara mengenai minat baca. Penelitian yang dilakukan pada Maret 2016 ini menempatkan Indonesia hanya berada satu peringkat dari terbawah dan di atas Botswana. Data yang dirilis Program for Internasional Student Assesment (PISA) pada tahun 2015 menyatakan dari segi literasi membaca, Indonesia memiliki skor 397 dari rata-rata skor 493.
Merujuk pada kajian yang dilakukan oleh Perpustakaan Nasional pada tahun 2015 menunjukkan bahwa minat baca masyarakat berada pada ketegori rendah atau berada pada angka 25,1. Bahkan bila melihat data dari UNESCO pada tahun 2012 mengungkap minat baca Indonesia hanya 0,001 yang menandakan setiap dari 1000 orang di Indonesia hanya 1 orang yang rajin membaca.
Miris bukan? Melihat data-data statistik yang dilakukan berbagai lembaga mengenai kondisi literasi Indonesia. Semua hasil riset menunjukkan minat literasi Indonesia yang sangat rendah. Lantas, apakah riset yang miris itu membuat kita pesimis mengenai kondisi literasi di Indonesia?
Optimisme Literasi
Duta baca Indonesia, Najwa Shihab, yang pastinya sangat familiar dengan acaranya yang tayang di salah satu siaran swasta, mengatakan bahwa kondisi literasi di Indonesia berdasarkan data-data yang dirilis tidaklah sepenuhnya benar. Pada salah satu wawancara, Najwa Shihab mengungkapkan, “Masa sih minat baca buku rendah? Karena setiap kali kita bawa buku (ke daerah), anak-anak menahan kita tidak boleh pulang sambil ditangisi. Mereka semangat membaca dan mengajak orang lain ikut membaca.”
Okelah kalau mba Najwa tentunya pasti akan mengatakan yang baik-baik dengan kondisi literasi di Indonesia karena seorang duta baca, namun apakah semudah itu mengatakan tanpa adanya pengalaman dengan mengunjungi berbagai daerah di Indonesia, bahkan sampai ke pelosok. Semangat menyebarkan literasi ke berbagai daerah mba Najwa sebagai contoh kecil yang dapat kita saksikan.
Mengapa kita harus optimis dengan kondisi literasi di Indonesia setelah melihat data-data riset yang miris tadi? Sudahkah kita mengetahui berapa organisasi ataupun komunitas yang bergerak untuk menyebarkan semangat literasi?
Berbagai organisasi ataupun komunitas dari penjuru Indonesia menggunakan segala cara untuk meyebarkan semangat literasi sebanyak mungkin kepada masyarakat. Nama-nama familiar seperti Bemo Pustaka, Perahu Pustaka, Motor Pustaka, Noken Pustaka, Serabi Pustaka, Motor Tahu Pustaka, Kuda Pustaka hingga Jamu Pustaka didirikan sesuai dengan kemampuan dan latar belakang si pendiri.
Di Aceh ada komunitas literasi Bangkit Aceh yang bersama dengan sekitar 30 komunitas lainnya bergerak menyebarkan semangat literasi kepada masyarakat. Di Kalimantan ada Yayasan Komunitas Ladang bersama dengan sekitar 50 komunitas lainnya. Di Sulawesi ada komunitas Stimulus Paradigma (Stigma) dengan Pustaka Senjanya yang setia menemami masyarakat untuk membaca dan diskusi bersama dengan sekitar 100 komunitas lainnya. Hingga Maluku dan Papua berdasarkan data dari Pos Indonesia terdapat 245 yang terdaftar sebagai taman baca masyarakat, salah satunya yang telah disebutkan di atas, Noken Pustaka.
Semangat literasi Indonesia yang bergerilya masuk ke berbagai daerah semakin tahun semakin meningkat karena begitu pentingnya dalam mencedaskan kehidupan yang tentunya juga berujung pada peningkatan kualitas diri. Bahkan seorang Raisa saja, yang baru saja bertunangan dengan Hamish sehingga muncul istilah hari patah hati nasional, memiliki hobi membaca buku. Bukan hobi yang baru saja digelutinya, tapi sudah dilakukan sejak kecil.
So, Masihkah kita terus berkutat pada data-data riset yang miris tadi mengenai kondisi literasi Indonesia? Bukankah sebagai kaum intelektual, tugas kita adalah berperan dalam memberikan pendidikan yang mencerdaskan dan membebaskan? Lantas, apakah kita hanya sebagai penonton saja tanpa ikut berjuang bersama pada pejuang-pejuang literasi dengan membawa tujuan, menyebarkan semangat literasi? Jawaban itu hanya ada pada diri kalian, dan di tunggu inovasi dan gebrakannya.